AGAMA
BUDDHA DI CHINA
Editor
Tim Buddhakkhetta
Sumber
Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Buddha, Tim Penyusun,
CV.Dewi Kayana Abadi Jakarta
Dengan
mengetahui gambaran menyeluruh tentang sejarah negeri China, maka
sejarah perkembangan agama Buddha
di China akan
dipahami dengan lebih baik. Sejak jaman
perunggu di China,
kerajaan-kerajaan timbul dan tenggelam, pemerintahan juga berubah-ubah dari pangeran hingga pegawai pemerintah.
Penduduk China berkembang dengan pesat. Pada abad pertama
sebelum masehi, penduduk negeri ini diperkirakan sudah berjumlah 50 juta.
Daerah-daerah subur di sepanjang aliran-alira
n sungai menjadi tempat pemukiman
yang memberikan cukup makanan. Padi merupakan bahan pokok utama. Tanaman baru
yang berasal dari Champa (Vietnam) yang berkembang pada abad 11 seperti gandum,
ubi jalar yang dapat tumbuh pada tanah-tanah yang sempit, ikut mendorong
pertumbuhan jumlah penduduk. Pada sekitar tahun 1200, jumlah penduduk China
diperkirakan berjumlah 100 juta, jumlah tersebut menurun menjadi sekitar 65
juta pada tahun 1368 yakni pada tahun berakhirnya dinasti Mongol. Sejak itu
jumlah penduduk mengalami peningkatan. Namun, laju pertumbuhan penduduk tidak
terlalu pesat karena mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh bencana
alam (banjir, penyakit), peperangan, dan kerusuhan sosial.
Penduduk China terdiri dari suku-suku bangsa dengan
bahasa yang berlainan. Suku yang utama adalah Bangsa Han, yang mengembangkan
dasar-dasar kebudayaan dan politik sejak dinasti Han (202-220 SM). Para ahli
bahasa menggolongkan bahasa China dalam keluarga Sino-Tibet. Dialek-dialek yang
merupakan bagian dari bahasa China beberapa diantaranya adalah dialek Wu
atau Soochow, didapati di sekitar sungai Yangtze dan Shanghai, dialek Min
diwakili oleh Amoy (Fukien selatan) dan Swatow (Kwantung dan pulau Hainan),
dialek Hakka Yueh (Kanton), serta suku-suku minoritas di selatan dan
barat yang berdarah campuran Turki dan Mongol. Karena pertumbuhan penduduk
yang semakin meningkat, kesulitan bahasa telah melahirkan bahasa Mandarin
sebagai bahasa nasional pada abad ke 20 ini.
Sejarah China memberikan gambaran bahwa agama tidak
memegang peranan penting. Filsafat etika (moral) dari Kong Hu Chu atau
Confusius (551-479 SM) yang mengajarkan ”jen” sebagai azas kesatuan telah
dilengkapi dengan konsep "yi" atau kebenaran oleh Mencius (sekitar
372-289 SM). Pandangan filsafat tersebut kemudian disempurnakan oleh Hsun Tzu
(306-212 SM).
Selain pandangan pembaharuan yang berdasarkan tata laku
dalam kehidupan masyarakat yang berasal dari Kong Hu Chu, terdapat juga
pandangan lain yang berdasarkan kehidupan rohani (bertapa) dari Lao Tzu
(sekitar 575-485 SM) dan Chuang Tzu (sekitar 369-286 SM) yang disebut "Teo
Te Ching". Dalam sejarah China, kedua pandangan tersebut silih berganti
berkembang sesuai dengan keadaan kehidupan masyarakat. Bila keadaan tenang dan
makmur, maka pandangan Kong Hu Chu yang berkembang. Dan sebaliknya bila keadaan
sulit, maka ajaran Tao yang populer.
Keruntuhan dinasti Han pada awal abad ke-3 Masehi telah
membuat kerajaan China mengalami kemunduran dalam beberapa abad. Ajaran Kong Hu
Chu pun memudar dan pada masa ini agama Buddha mulai diperhatikan
masyarakat China, ajaran Tao juga mengalami kebangkitan kembali.
Sejarah filsafat China dapat dibagi menjadi lima periode,
yaitu :
1.
Periode kuno awal (sampai sekitar 200 SM)
2.
Periode kuno kemudian (sekitar 200 SM - 400 M)
3.
Periode pertengahan (sekitar 400–1000 M)
4.
Periode modern awal (sekitar 1000–1800 M) dan
5.
Periode kontemporer (sejak tahun 1800 M)
Ensyclopedia Americana cetakan tahun 1978 menyebutkan
nama-nama dinasti dan negara (kerajaan) di China dari zaman purba sebagai
berikut :
Kerajaan T'ang (legenda)
|
3.000 tahun SM
|
Kerajaan Yu (legenda)
|
3.000 tahun SM
|
Dinasti Hsia
|
1994-1523 SM (perkiraan)
|
Dinasti Shang (Yin)
|
1523-1028 SM (perkiraan)
|
Dinasti Chou
Chou barat
Chou timur
|
1027-256 SM (perkiraan)
1027-770 SM (perkiraan)
770-256 SM
|
Dinasti Chin
|
256-206 SM
|
Dinasti Han
Han barat (awal)
Hsin
Han timur (kemudian)
|
202 SM – 220 M
202 SM – 9
9-23
25-220
|
Tiga kerajaan
Shu
Wei
Wu
|
220-265
221-264
220-265
222-280
|
Dinasti Chin (Tsin)
Chin barat
Chin timur
|
265-420
265-317
317-420
|
Dinasti-dinasti selatan
Liu Sung
Ch'i
Liang
Ch'en
|
420-589
420-479
479-502
502-557
557-589
|
Dinasti-dinasti utara
Wei (kemudian)
Wei (timur)
Wei (barat)
Ch'i (utara)
Chou (utara)
|
385-581
386-535
534-550
535-556
550-557
557-581
|
Dinasti Sui
|
581-618
|
Dinasti T'ang
|
618-906
|
5 (lima) dinasti
Liang (kemudian)
Yang (kemudian)
Chin (kemudian)
Han (kemudian)
Chou (kemudian)
|
907-960
907-923
923-936
936-947
947-950
951-960
|
10 (sepuluh) kerajaan
Wu
T'ang (selatan)
Ping (selatan)
Ch'u
Shu (awal)
Shu (kemudian)
Wu-yueh
Min
Han (selatan)
Han (utara)
|
902-979
902-937
937-975
907-963
927-951
907-925
934-965
907-978
909-944
907-971
951-979
|
Dinasti Sung
Liao
Sung (utara)
His-hsia
Chin (Kin)
Sung (selatan)
|
960-1279
947-1125
960-1126
990-1227
1115-1234
1127-1279
|
Dinasti Yuan (MONGOL)
|
1271-1368
|
Dinasti Ming
|
1368-1644
|
Dinasti Ch'ing (MANCHU)
|
1644-1911
|
Republik
|
sejak 1912 (Agama Buddha di
China)
|
Agama Buddha berkembang ke
China sekitar abad kedua sebelum masehi melalui Asia Tengah dan mulai
berpengaruh pada masa pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M). Sejak dinasti Han (202-220 M), agama Buddha mulai mendapat
perhatian. Kira-kira pada masa itulah Mo Tzu
menyusun bukunya Li-huo-lun (Menangkis Kekeliruan) sebagai
apologia bagi agama Buddha.
Pada tahun 147 M seorang bhikṣu dari Asia Tengah bernama Lokaraksha telah menetap
di Loyang, ibukota dinasti Han masa itu. Pada abad ke-2, ke-3, dan ke-4 banyak bhikkhu
dari India pergi ke China dan menyalin berbagai Sūtra dan sastra
dalam bahasa China.
Pada tahun 399 M seorang bhikṣu China bermana Fa Hien, bersama rombongannya yang
terdiri atas 10 orang, melakukan perjalanan ke India melalui jalan darat untuk
mempelajari agama Buddha. Pada tahun 413 M, beliau pulang melalui jalan
laut dan singgah di Sriwijaya (Sumatera) dan Jawa. Beliau menyalin berbagai sūtra.
Catatan beliau mengenai negara-negara Buddhis (Record of Buddhist countries) terkenal sampai
kini.
Dalam masa dua setengah abad, setelah
Bhikṣu Fa-Hien, banyak lagi peziarah yang terdiri dari bhikṣu-bhikṣu China, berangkat ke India. Tetapi catatan
perjalanan mereka lenyap, kecuali petikan-petikan singkat yang terdapat pada
berbagai naskah kuno. Menjelang awal abad ke-7 M, seorang bhikṣu Cina bernama Huan Tsang melakukan perjalanan lagi
ke India dan catatan perjalanan beliau pada berbagai wilayah barat itu (Record of Western Regions) merupakan salah
satu sumber sejarah sampai kini. Beliau merasa tidak puas menyaksikan agama Buddha
yang dicintainya telah kehilangan pengaruh di anak benua India.
ALIRAN AGAMA BUDDHA AWAL DI CHINA
Aliran-aliran agama Buddha
yang berkembang di China secara garis besar terbagi dalam dua pandangan,
yaitu (1) aliran-aliran dari pandangan Atta dan (2) aliran-aliran dari
pandangan Anatta.
Aliran yang mula-mula berkembang di
China adalah Theravāda, yang terbagi
dalam tiga aliran, yaitu :
Cheng-shih (di India dinamakan aliran Sautantika), yang
berpandangan bahwa Dhamma dan kehidupan itu hanya realitas maya. Aliran
itu berkembang di China sampai abad ke-6, lalu mulai mundur, dan kemudian
lenyap pada abad ke-8 setelah aliran San-lun (Mahāyāna)
muncul.
Chu-she (di India dinamakan aliran Vaibashika),
berpandangan bahwa Dhamma dan kehidupan itu mempunyai realitas. Aliran
itu berkembang sampai abad ke-7 dan kemudian lenyap setelah aliran Mahāyāna
muncul.
Lu, yaitu aliran yang mempertahankan peraturan yang ketat bagi kehidupan Saṅgha berdasarkan Vinaya Piṭaka. Ajaran dari aliran ini dikembangkan
dan disempurnakan oleh Taoshuan (596-667 M), seorang bhikṣu terkemuka dari Gunung Selatan. Peraturan yang ketat
itu termasuk 250 "larangan" bagi bhikṣu dan 348 "larangan" bagi bhikṣuni. Lambat laun aliran tersebut
meresapi ajaran-ajaran aliran lain sehingga tidak lagi merupakan aliran
tersendiri.
Ketiga aliran tersebut tidak bertahan
lama karena masuknya aliran Mahāyāna yang lebih mudah
berkembang di China, sehingga pada akhirnya pengaruh Theravāda lenyap dari bumi China.
Dalam aliran Mahāyāna
di China, berkembang tujuh aliran besar, yaitu :
aliran San-lun
aliran Wei-shih
aliran Tien-tai
aliran Hua-yen
aliran Chan
aliran Ching-tu
aliran Chen-yen
Di antara tujuh aliran itu, hanya
empat paling berpengaruh dan merupakan inti dari agama Buddha di China.
Keempat aliran itu adalah Tien-tai, Hua-yen, Chan, dan Ching-tu.
Dalam lingkungan agama Buddha
di China, ada pameo berbunyi : "Tien-tai dan Hua-yen untuk
doktrin; Chan dan Chingtu untuk kebaktian." Intisari
pendirian dari satu persatu aliran tersebut dijelaskan di bawah ini.
Aliran Sun-lun
San-lun artinya Tiga Sūtra. Aliran ini berdasarkan pada tiga karya
yang disalin Kumarajiva ke dalam bahasa China. Dua buah di antaranya adalah karya Bhikkhu Nagarjuna dan sebuah lagi merupakan karya
muridnya, Deva.
Aliran ini di India dikenal sebagai
aliran Madhyamika (Aliran Tengah). Aliran ini berpendirian bahwa seluruh
alam luar itu hanya suatu realitas terbatas (qualified reality) belaka, tidak merupakan realitas
penuh. Seluruh fenomena dalam alam luar itu sepanjang fragmatis memang suatu
kenyataan, dalam pengertian realitas terbatas, bagi tujuan-tujuan praktis.
Semuanya itu hanya riil dalam pengertian kenyataan semu belaka. Tidak terdapat satupun dari keseluruhannya itu memiliki Atta (full-Being). Pada akhirnya, semuanya akan kehilangan realitas.
Setiap orang terus menerus
dipengaruhi oleh ilusi (khayal) dari tanggapan indrianya. Semuanya itu pada
hakikatnya hanya kekosongan belaka. Kekosongan (sunyata) itu saja yang
betul-betul Ṡunya
Vāda (Doktrine of Emptiness).
Suatu kritik yang diajukan terhadap
pemikiran Ṡunya
Vāda adalah apabila pemikiran itu dilanjutkan maka setiap pemikiran (bahkan
pemikiran Ṡunya
Vāda itu sendiri yang mempertahankan
serba-kosong itu) adalah tidak riil. Argumentasi di atas itupun, yang menantang
Ṡunya
Vāda, juga tidak riil. Pernyataan terakhir
itupun tidak rill. Begitu seterusnya tanpa henti-hentinya.
Sekalipun begitu, aliran Ṡunya Vāda itu bukan bersifat
pesimistis karena di dalamnya terkandung pula sesuatu yang positif. Jika alam
luar itu pada hakikatnya tidak riil dan hanya kekosongan saja yang betul-betul
riil, namun hal itu dapat dialami dalam samādhi secara langsung dan
pasti, yaitu suatu hal yang tidak dimiliki oleh alam luar, maka kekosongan itu
pada hakikatnya berada di mana-mana mencakup segalanya. Jadi segala yang ada
itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kekosongan itu atau Nirvāṇa.
Di dalam ungkapan yang lebih mudah
untuk dipahami akan dapat dijelaskan sebagai berikut : silahkan pejamkan mata
anda dan tutup telinga anda maka segalanya akan berubah menjadi suatu yang kosong
(void). Dengan membenamkan diri di dalam kekosongan itu (sewaktu
menjalankan samādhi), seseorang mencapai Nirvāṇa. Di sana terasa ketentraman jiwa, teduh-tenang,
suatu diam yang kekal.
Di dalam aliran Madhyamika ini
dijumpai dua pengertian tentang kebenaran, yaitu kebenaran umum dan kebenaran
tertinggi. Pernyataan bahwa Dhamma dan aku itu ada merupakan hal yang
dipandang dari sudut kebenaran umum atau kebenaran alami, yang sifatnya relatif
dan pragmatis. Pernyataan bahwa Dhamma dan aku itu senantiasa berubah
dari saat ke saat dan itu bukan sesuatu yang tetap ada pada setiap saat
merupakan hal yang dipandang dari sudut kebenaran tertinggi. Hanya Ṡunya (kekosongan, void) saja yang
memiliki realitas yang tidak berubah-ubah.
Titik tolak aliran Madhyamika
itu berpangkal pada Empat Dalil yang pada intinya menolak setiap pandangan
tentang : (1) ada, (2) tidak ada, (3) serentak ada dan tidak ada, (4) serentak
ada dan bukan tidak ada.
Keempat hal tersebut apabila dibahas
satu persatu secara terperinci dengan argumentasi-argumentasi yang padat dan
tajam akan memperlihatkan ketajaman dalam penggunaan logika sehingga ketiga Sūtra
yang menjadi dasar aliran Madhyamika itu mempunyai kekuatan yang
mempesona. Demikian pendapat dari W. Theddore de Bary di dalam buku Sources
of Chinese Tradition edisi 1964, menyatakan bahwa George Berkeley (1685-1753) dan David Hume
(1711-1776), dua orang filsuf bangsa Inggris yang pendapatnya menggoncangkan
alam pikiran di Barat pada abad ke-18, meminjam dalil-dalil Bhikkhu Nagarjuna itu.
Aliran Madhyamika di China
(aliran San-lun) ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh
Dhi-tsang (549-623 M), seorang bhikṣu yang memiliki ayah dari Parsi dan ibu dari China.
Karya-karyanya merupakan penyempurnaan yang menyeluruh bagi aliran Mahāyāna.
Akan tetapi aliran itu mulai kurang berpengaruh semenjak abad ke-9 Masehi.
Aliran Wei-shih
Wei-shih itu bermakna “Hanya Kesadaran”. Aliran ini di India dikenal dengan nama vijñānavāda yang dibangun oleh Asanga. Sebelum karya Asanga disalin ke dalam
bahasa China, aliran ini dikenal dengan sebutan She-lun. Aliran ini
belakangan dikenal sebagai aliran Fahsiang (Dharmakāya),
dibangun oleh Huan-Tsang (596-664 M), seorang bhikṣu, penulis, dan cendekiawan. Beliau melakukan
perjalanan ke India, setelah pulang kembali ke China, beliau dengan tekun
menyalin karya-karya kaum vijñānavāda, terutama karya Bhikkhu Dhammapāla yang berjudul Vijñāpti-Matrata-Siddhi
(Sistematika dari Hanya Kesadaran, Cheng Wei Shih Lun). Semenjak itu aliran
ini lebih dikenal dengan sebutan Aliran Wei-Shih.
Vijñānavāda ini merupakan sebuah aliran Cita-Murni (Pure Idealism). Perwujudan alam luar itu hanya ada di dalam ingatan
seseorang. Alam luar itu tidak lain dari maya belaka. Bagi seseorang di dalam samādhi
mungkin saja bisa memunculkan di depan mata ingatannya akan segala rupa dari
alam luar itu, yang benar-benar mirip menurut kenyataannya sesuai tanggapan
indria, namun orang tersebut sadar bahwa semuanya itu tidak memiliki realitas.
Justru tanggapan itu, dengan begitu, bukan bukti atas “ada”. Setiap tanggapan itu tidak lain
adalah proyeksi dari ingatan belaka, yakni dari kesadaran seseorang.
Meskipun begitu, kaum Vijñānavāda mengakui ada sesuatu yang bebas dari
pemikiran manusia, “ada yang murni”, dan menyeluruh tanpa ciri, yang tidak bisa diberi predikat olah karena ada
itu sendiri tanpa predikat. “Ada yang Murni” dan menyeluruh itu disebut
dengan Tathatā. Tathatā itu merupakan sebutan bagi Maha
Pencipta, Tathatā itu bermakna “Kenyataan”. “Kenyataan” itu
merupakan sesuatu yang dapat ditunjuk oleh kesadaran tetapi tidak dapat
dilukiskan.
Mengenai pengertian Tathatā,
ada yang menafsirkannya sebagai pengaruh dari ajaran Tao dari Lao-Tzu.
Mengenai ajaran bahwa Tathatā itu merupakan sesuatu “Ada yang Murni” tanpa predikat, ada yang berpendapat
bahwa ajaran itu berpengaruh terhadap aliran Iktizal di dalam Islam, suatu aliran yang dibangun di Basrah oleh Washil ibn Athak
(689-748 M) dan Amru ibn Ubaid (699-757 M), kemudian berkembang ke Baghdad dan
pada masa pemerintahan Khalif Al Makmun (813-833 M) diakui sebagai aliran resmi yang menggantikan aliran Sunni.
Mengenai ajaran tentang Keselamatan (Salvatian), yakni Moksha yang akan
membebaskan Dukkha, kaum Vijñānavāda berpendapat bahwa hal itu hanya dapat dicapai dengan menghabiskan
perbendaharaan kesadaran sampai “Ada yang Murni”, sehingga akhirnya sama dengan Kenyataan (Tathatā). Jalan
satu-satunya untuk mencapai hal itu hanya dengan menjalani Yoga, yang terbagi atas Kriya yoga dan Raja yoga.
Tathatā atau “Kenyataan” itu dapat dicapai dengan empat hikmat, yaitu :
1.
hikmat laku, terdiri atas lima tingkat kesadaran.
2.
hikmat tinjauan, pemusatan kesadaran indria.
3.
hikmat ingatan, pemusatan kesadaran ingatan.
4.
hikmat Kaca-Maha-Agung, berupa kesadaran tertinggi, yang melenyapkan diri ke dalam Keituan.
Aliran Tien-tai
Aliran Tien-tai dalam agama Buddha
mendapatkan kedudukan penting dalam filsafat China. Di Jepang disebut dengan aliran Nichiren.
Pada mulanya aliran ini berdasarkan
pada Saddharma-Pundarika-Sūtra (Seroja dari Hukum Terbaik), tetapi dalam perkembangannya, penafsiran
terhadap karya tersebut yang diberikan oleh Chih-kai (538-597 M) menjadi pegangan utama.
Chih-kai adalah nama seorang Bhikṣu yang berasal dari wilayah Gunung Tien-Tai di
provinsi Chekiang, tempat Bhikṣu Chih-kai membuka perguruannya.
Seroja Hukum Terbaik itu, menurut
pendapat Guru Besar dari Tien-tai, adalah Sūtra Mahāyāna
yang paling mudah untuk dipahami oleh kalangan umum, karena bukan karya
theologis yang berbelit-belit, tetapi langsung memberikan tuntutan ke arah
keselamatan melalui praktek.
Pandangan-pandangan Chih-kai dicatat
dan dihimpun oleh muridnya, Kuan-ting, dan merupakan tiga karya besar dari aliran Tien-tai, yaitu :
1.
Fa-hua wen-chu, tentang kata dan kalimat di dalam Seroja.
2.
Fa-hua hsuan-i, tentang pengertian yang lebih dalam dari Seroja.
3.
Mo-ho chi-kuan, tentang kesadaran dan renungan.
Pada masa itu, agama Buddha di
China memperlihatkan dua ciri. Di wilayah bagian selatan lebih mengutamakan
pembahasan-pembahasan secara rasional dan filosofis. Sedangkan di wilayah
bagian utara lebih mengutamakan kepercayaan dan penghormatan terhadap tata
tertib. Belahan selatan bersifat intelektual sementara belahan utara bersifat
disiplin.
Chih-kai berasal dari selatan, tetapi
gurunya, Hui-tsu (514-577 M) berasal dari utara. Dengan begitu menurut pemeo China, pada
diri Chih-kai itu bersatu dua sayap burung. Ajaran Tien-tai mengutamakan suatu prinsip yang disebut dengan Keselamatan Sempurna melalui Tiga Kebenaran, yaitu :
1.
Seluruh “unsur” (Dharma) dan “aku” merupakan suatu kekosongan belaka,
yang dihasilkan oleh hukum sebab-akibat, serta tidak memiliki ciri kedirian.
2.
Semuanya hanya “Ada Sementara”.
3.
Disebabkan kosong dan sementara, maka
watak khusus dari segalanya itu hanya “pengertian-pengertian” belaka.
Ketiga hal tersebut (kosong,
sementara, pengertian) saling berkaitan satu dengan lainnya, dengan demikian, “Satu
adalah Tiga” dan “Tiga adalah Satu”. Kesatuan itu merupakan “ada-Kenyataan”
yang relatif tetapi memiliki kemiripan dengan Yang Mutlak.
Titik berat terpenting pada aliran Tien-tai
terletak pada kesadaran dan renungan sebagai jalan untuk menuju “Kebenaran
Terakhir”. “Kebenaran Terakhir” itu terjelma pada saat-saat dalam
Ekstasi. “Ada Sementara’ itu memiliki kepribadian-Buddha
di dalam dirinya dan justru bisa diselamatkan melalui kesadaran dan
konsentrasi. Dalam hal ini, sarjana menilai sebagai pengaruh ajaran Atman dan
Brahman dari agama Hindu.
Aliran Hua-yen
Aliran Hua-yen bermakna Kalung
Bunga (Flower Garland School). Aliran Hua-yen ini berdasarkan Avatamsaka-Sūtra,
sebuah karya dari India Utara, yang mengemukakan ajaran Sakyamuni dalam
kedudukannya sebagai penjelmaan Buddha Vairochana. Aliran tersebut di
India sendiri tidak pernah ada. Sedangkan Vairochana itu, di dalam Upanishads
yang merupakan kitab suci agama Hindu, adalah penamaan bagi pemimpin
kodrat-kodrat rohani yang mempunyai sifat tertentu.
Aliran ini mula-mula dibangun oleh Tua-shun
(557-640 M), kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Fa-tsang
(643-712 M), seorang Guru Besar dari Hsien-show. Dengan demikian
aliran ini berasal dari daerah asal guru besarnya.
Pokok ajaran utama dalam aliran Hua-yen
adalah Kausalitas Univeral, yaitu Hukum Sebab Akibat yang Universal.
Alam semesta itu tercipta dengan serentak dan ini yang disebut alam Hukum (Dharmadhatu)
oleh aliran Hua-yen.
Seluruh unsur (Dharma)
dan aku memiliki tiga ciri yang saling berlawanan, yaitu :
1.
umum khusus
2.
persamaan perbedaan
3.
kesatuan perpisahan.
Aliran Ching-tu
Aliran Ching-tu biasa disebut
aliran Sukhavati (Happy Land School), didasarkan pada Sukhavati-Vyusha-Sūtra
Keadaan di dalam Sukhavati
digambarkan dengan keadaan yang sangat menggiurkan siapapun. Kesenangan yang
bagaimanapun sempurnanya di dunia ini tidak berarti bila dibandingkan dengan
kesenangan yang bakal dinikmati di dalam Sukhavati. Oleh karena itulah
aliran Ching-tu memperoleh pengaruh yang kuat dan luas dari kalangan
umum di seluruh China.
Sukhavati dikuasai oleh Buddha Amitābha. Di China disebut dengan Kwan-Yin
dan di Jepang disebut dengan Amida. Setiap orang yang menginginkan
kebenaran dan pencerahan, senantiasa memusatkan pemikiran dan renungan terhadap
Amitābha, pada saat menghembuskan napas yang penghabisan
mengucapkan nama-Nya, maka Buddha Amitābha dengan segala
pengiringnya akan menyambut orang itu dan langsung membawanya ke Sukhavati.
Para pengikut aliran Ching-tu
sangat mengutamakan samatha, ketenangan batin.
Aliran Chan
Aliran Chan di China dikenal
di India dengan sebutan aliran Dhyāna dan di Jepang dikenal dengan
sebutan aliran Zen. Dhyāna berarti meditasi (samādhi).
”Chan” dan ”Zen” adalah perubahan bunyi (transliterasi) dari dhyāna
menurut dialek China dan dialek Jepang. Aliran Chan bersifat mistik. Buddha
Gotama pada masa hidup-Nya, menurut aliran Chan, tidak memberikan
dan membukakan ”Ilmu Tertinggi” kepada siapapun, kecuali kepada seorang
murid-Nya yang amat penting, Bhikkhu Mahā Kassapa, satu-satunya
murid yang sanggup memahaminya. Bhikkhu Mahā Kassapa dipandang
sebagai Bhikkhu Pertama (Dirs Patriarch) menurut silsilah di
dalam aliran Chan.
Sebagai catatan dapat dikemukakan
bahwa keadaan yang serupa dijumpai dalam lingkungan agama Islam. Tharigat
Naksyahandi menyatakan bahwa Salman Al Farisi adalah Imam Pertama
dari Tharigat karena Nabi Muhammad S.A.W. tidak memberikan dan
membukakan Ilmu Tertinggi dari Thariqat kecuali kepada Salman Al Farisi.
Ada rantai silsilah hingga sampai kepada pembangun Thariqat tersebut,
yaitu Muhammad bin Baharuddin Al Naksyabandi (1338-1412 M), yang berasal dari Asia Tengah.
Demikian pula halnya dengan aliran Chan
yang menyatakan bahwa Bhikkhu Mahā Kassapa hanya mewariskan hikmat rahasia itu kepada penggantinya, demikian terus
menerus hingga berjumlah 27 orang Bhikkhu di India. Bhikkhu yang
ke-8 bernama Bodhidharma yang meninggalkan India dan berlayar ke China pada tahun 527 (masa
pemerintahan Liang Wudi dari dinasti Liang). Bodhidharma menetap selama
9 tahun di Vihāra Saolin, di pegunungan Song, serta menunjuk Bhikṣu Hui-ke sebagai penggantinya.
Di China, ”Kebenaran rahasia” itu
diwariskan secara turun temurun. Secara berturut-turut Bhikṣu Hui-ke digantikan oleh Seng Can, Dao Xin, Hong Ren, dan Hui
Neng (638-713 M) dalam kedudukannya sebagai Bhikṣu Keenam (Sixth Patriarch). Murid Hui-neng yang terkenal adalah Nanyue
Hua Rang (677-744), Qingyuan
Xingsi (660-740), Yongjia Xuang Xuang jue (665-713), Nanyang Huizon (677-775),
dan Heze Shenhui (670-758 M.).
Aliran Chan bersikap agak
bebas dalam mempelajari berbagai Sūtra Mahāyāna. Aliran ini tidak mengikatkan diri pada Sūtra
tertentu. Begitu pula terhadap berbagai aliran filsafat dan theogoni di dalam
aliran Mahāyāna. Aliran Chan lebih mengutamakan
pendekatan secara kerohanian (intuitif) untuk mencapai ”Kesadaran Tertinggi”.
Dengan begitu aliran Chan
tidak berdasarkan Sūtra tertentu dan tidak mengutamakan kata-kata
maupun kalimat-kalimat yang dijumpai di dalam Sūtra tersebut.
Segala ajaran di dalam aliran Chan
lebih mengutamakan saluran ”ingatan-ke-ingatan” (mind-to-mind). Mereka berpegang pada kisah bagaimana Buddha Gotama (563-483 SM)
pada suatu waktu menyampaikan ajaran-Nya tanpa mengucapkan sepatah katapun,
tetapi hanya memandangi mata seorang murid-Nya. Beliau lalu membuat ”gerak-kecil dengan jarinya”. Murid itu mendadak
menerima suatu ”Ilmu Tertinggi”. Aliran Chan tidak mempergunakan argumentasi-argumentasi
yang rasionil maupun rumusan-rumusan theologies yang demikian pelik.
Sifat kepribadian pada aliran Chan
amat kuat sehingga para pengikutnya kurang menaruh hormat terhadap
patung-patung pujaan. Sikap aliran Chan ada yang menilai agak bersifat icono-clastic, yakni menolak pemujaan patung-patung,
karena pujaan-pujaan lahiriah itu tidak membawa kepada ”Tujuan Tertinggi”. Titik berat ajarannya lebih
mengutamakan disiplin, yakni ketaatan dan khidmat yang sepenuh-penuhnya kepada
”Guru”. Hanya ”Guru” saja yang secara resmi dan pasti dapat menuntun seorang
Murid kepada pencerahan dan kebenaran untuk mencapai ”Kepribadian Buddha”.
Aliran Chan berpendirian bahwa
”Kepribadian Buddha” hidup terbenam dalam diri manusia dan melalui
renungan di dalam samādhi, maka ”Kepribadian-Buddha” itu
dapat dilihat.
Isi ”Kepribadian Buddha”
adalah kekosongan (suññatā) yang berarti kosong dari setiap
ciri-ciri khusus. Alam lahir dengan seluruh ciri-ciri khusus itu hanya khayal
(maya) belaka. Jalan satu-satunya untuk mendekati ”Kebenaran Terakhir” itu
adalah melalui samādhi, yang terbagi dalam dua macam, yakni :
1.
Tathāgata-Meditation, yaitu cara samādhi dari Buddha Gotama, mempergunakan
kodrat-kodrat renungan.
2.
Patriarchal-Mediation, yaitu cara samādhi yang diajarkan oleh Bhikṣu Bodhidharma, meniadakan pemikiran dan memusatkan
kesadaran rohani guna mencapai ”Kepribadian Buddha”.
Di dalam kesadaran rohani itu semua
batas pandangan dilenyapkan, seluruh pengharapan-pengharapan dipusatkan, dan
satu-satunya tujuan adalah menyaksikan ”Kebenaran Terakhir” itu. Guru-guru
Besar dari aliran Chan itu pada masa-masa kemudian sengaja mengajar dan
berbicara dalam bahasa biasa. Tidak lagi menggunakan laku dan gerak yang penuh
rahasia dan teka-teki. Hal inilah yang menyebabkan aliran Chan itu
populer di China.
Tentang kesadaran rohani itu terdapat
dua paham pada masa Imam ke-enam Hui-Neng (638-713 M) masih hidup, yaitu:
1.
Kesadaran Mendadak, dianut oleh aliran Selatan yang didirikan oleh Hui-Neng, kemudian
dikembangkan oleh Shenhui (670-762) dan pada masa akhir dinasti Tang
tumbuh menjadi lima cabang perguruan dan secara bersama-sama membentuk lima perguruan Chan di China yang terkenal sampai
sekarang.
2.
Kesadaran Berangsur, dianut oleh aliran Utara, berdasarkan ajaran dari Shen-Hsiu (605-796 M). Aliran utara itu bertahan tidak lama lalu lenyap.
Aliran Chen-yen
Chen-yen bermakna ”Kata yang Benar”. Aliran Chen-yen berpendirian bahwa alam semesta itu berisi tiga
misteri, yaitu pikiran, ucapan, dan perbuatan. Tiga misteri itu menyimpan
kodrat-kodrat yang bersifat magis.
Seluruh alam lahir yang merupakan
penjelmaan pikiran, ucapan, dan perbuatan itu adalah manifestasi dari ”Buddha-Matahari
Terbesar”. Di sana dirasakan pengaruh mitologi Yunani, yang pada abad
ketiga sebelum masehi dibawa oleh pasukan Yunani yang menguasai Asia Tengah dan
anak benua India. Orang Yunani pada waktu itu memuja Dewa Matahari (Zeus).
Dengan mempergunakan bahasa rahasia,
sajak-sajak mistik, kata-kata mantra, dan sebagainya, maka inti kodrat dari Buddha
akan dapat dihubungi oleh manusia dan digunakan untuk sesuatu tujuan. Doktrin
ini pada awalnya memperoleh pengaruh besar di China tetapi kemudian
berangsur-angsur mundur. Namun dewasa ini dijumpai pengaruhnya di Tibet dan
Jepang.
Kemunduran agama Buddha di
China
Pada tahun 845 agama Buddha di
China menghadapi cobaan berat. Kaisar Wu Zong yang berkuasa mengeluarkan
perintah untuk melenyapkan pengaruh agama Buddha atas pertimbangan
ekonomi. Lebih dari 4.600 vihāra dan 40.000 biara di wilayah kerajaan
dihancurkan, lebih dari 260.500 bhikṣu-bhikṣuni dipaksa kembali ke kehidupan rumah
tangga sementara lebih dari 150.000 dipaksa menjadi pekerja kerajaan. Dan tidak dapat dibayangkan banyaknya
karya-karya sūtra dan sastra yang ditulis selama 6 dinasti ikut
terbakar dan hancur.
Dalam keadaan yang sulit tersebut,
agama Buddha dari aliran Chan saja yang dapat bertahan dan tidak
banyak terpengaruh karena aliran ini tidak tergantung pada kitab-kitab ataupun
upacara-upacara. Bhikṣu-bhikṣu aliran Chan dapat bekerja sendirisendiri
untuk mendapatkan nafkahnya dan tidak tergantung dari masyarakat.
Krisis yang terjadi pada masyarakat
China setelah runtuhnya dinasti Han telah diwarnai oleh nilai-nilai yang
dibawa oleh ajaran agama Buddha yang masuk melewati Asia Tengah.
Diseluruh wilayah kerajaan, baik di utara, selatan, maupun suku-suku nomad
(pengembara) serta di lingkungan kaum terpelajar maupun masyarakat umum, agama Buddha
diterima dengan tangan terbuka. Kemudian agama Buddha ikut berkembang
dalam pasang surutnya dinasti-dinasti.
Ajaran agama Buddha mempunyai
pengaruh yang kuat dalam kebudayaan China. Ajaran Mahāyāna
membawa pengaruh terhadap seni patung dan seni lukis di negeri ini. Agama Buddha
juga menambah perbendaharaan bahasa China serta menambah wawasan pandangan dan
pemikiran bangsa China. Keberadaan ajaran Kong Hu Chu dan Tao yang ada tidak
cukup kuat untuk menahan para cendekiawan pergi ke India mempelajari
pandangan-pandangan baru. Menjelang akhir abad ke-8, kebudayaan China
berkembang ke arah yang sebaliknya. Ketimpangan kehidupan biara dan kerajaan
telah dijadikan alasan bagi penguasa untuk mengesampingkan agama Buddha
dan mengembalikan pandangan asli yang berdasarkan ajaran Kong Hu Chu dan Tao.
Beberapa waktu kemudian kedua ajaran asli China mengalami zaman kebangkitan
kembali pada abad ke 10.
0 komentar:
Posting Komentar