09Minggu,Maret

EUTHANASIA



ARTIKEL
EUTHANASIA

Oleh : Mirna Wati
Npm : 11110136

           Euthanasia berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata ‘eu’ yg berarti baik dan ‘thanatos’ yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia berarti mati secara baik. Euthanasia kadang-kadang disebut mercy killing, yang berarti “membunuh dengan alasan kasih sayang”.
Masalah euthanasia masih sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat baik oleh para dokter, para ahli hukum, maupun oleh para ulama. Ada kelompok yang setuju, namun lebih banyak yang tidak setuju. Masalah euthanasia ini tak luput pula dari perhatian umat Buddha. Mereka berusaha memecahkan masalah ini, tetapi tentunya dengan berpedoman kepadakitabsuciTipitaka.Euthanasiadapatdibagiatasduamacam:
1. Euthanasia aktif, yang berarti tindakan medis yang dilakukan secara aktif dengan harapan dapat mempercepat kematian pasien, dengan cara memberikan obat penenang, obat tidur, atau jenis lain. Jadi disini ada tindakan yang sengaja mengakhiri hidup pasien. Misalnya, orang yang sakit kanker diberi obat tertentu sehingga ia meninggal dunia.
2. Euthanasia pasif, yang berarti membiarkan pasien itu meninggal dengan menghentikan terapi atau tindakan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya dengan mencabut alat-alat bantu yang menunjang kehidupannya.
          
PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP EUTHANASIA

     Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis.
Perbuatan membunuh atau mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin akan melakukan perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidup merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk.
            Ia yang memiliki kasih sayang tentu akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu selalu ingin berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi tentunya niat yang luhur ini diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat. Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh.
             Sesungguhnya orang yang ‘membunuh karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran kebencian karena ia sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita sakit itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengorbanan orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana ke mari yang nantinya harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal semacam itu.

 PIKIRAN TERAKHIR
         Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut:
“Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”.
         Dari sabda Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyedihkan.
          Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak menjelang saat kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa kehidupan lampau. Ada orang yang sakit parah itu meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada umumnya orang yang sedang menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau, gelisah, dan takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini berarti kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan.
KARMA YANG HARUS DITERIMA
         Sang Buddha pun pernah mengatakan bahwa manusia dilahirkan berulang-ulang sesuai dengan perbuatannya. Ketika seseorang akan meninggal dunia, kesadaran ajal mendekati kepadaman dan di dorong oleh kekuatan-kekuatan karma. Kemudian, kesadaran ajal padam dan langsung menimbulkan kesadaran penerusan untuk timbul pada salah satu dari tiga puluh satu alam kehidupan sesuai dengan karmanya. Hal ini secara umum disebut pula suatu permulaan dari bentuk kehidupan baru.

        Pada saat seseorang yang belum mencapai kesucian arahat itu menghembuskan nafas terakhirnya, ia langsung bertumimbal lahir. Ia bertumimbal lahir di salah satu dari tiga puluh satu alam kehidupan sesuai dengan karmanya. Jadi, ada kehidupan setelah kematiannya. Dalam kehidupan berikutnya, ia akan menerima akibat-akibat karma yang belum berbuah. Dengan demikian, jika akibat karma itu belum diterimanya dalam kehidupan sekarang ini, maka ia akan menerimanya pada kehidupan berikutnya.
          Oleh sebab itu, kita hendaknya tidak memutuskan karma yang sedang dijalani oleh si sakit tersebut. Kita hendaknya membiarkan ia melunasi karma buruknya pada kehidupan sekarang ini, sehingga akibat karma buruk yang berupa penderitaan itu tidak akan diterimanya lagi pada kehidupan yang akan datang.

Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar