06Selasa,November

KHANDAVAGGA


KHANDAVAGGA
I. NAKULAPITĀ
1 (1) Nakulapitā
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang
berdiam di antara penduduk Bhagga di Suṃsumāragira di Hutan
Bhesakalā, Taman Rusa. Kemudian perumah tangga Nakulapitā
mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di
satu sisi, dan berkata kepada Beliau:
1
“Saya sudah tua, Yang Mulia, semakin tua, terbebani dengan tahun
demi tahun, berusia lanjut dalam kehidupan, sampai pada tahap akhir,
menderita dalam tubuh, sering sakit. Saya jarang menemui Bhagavā
dan para bhikkhu yang layak dihormati.2 Sudilah Bhagavā menasihati
saya, sudilah Bhagava mengajari saya, karena itu akan mengarah pada
kesejahteraan dan kebahagiaan saya dalam waktu yang lama.” “Memang demikian, Perumah tangga, memang demikian! Tubuhmu
menderita, membungkuk, terbebani.3 Jika siapa pun yang membawa
tubuh ini mengaku sehat bahkan selama saat, apakah itu kalau bukan
dungu? Oleh karena itu, Perumah tangga, engkau harus berlatih
sebagai berikut: ‘Walaupun tubuhku menderita, namun batinku tidak
akan menderita.’ Demikianlah engkau harus berlatih.”
Kemudian perumah tangga Nakulapitā, setelah merasa senang
dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, [2] bangkit dari
duduknya, dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dengan
Beliau di sisi kanannya, ia mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah
memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta, ia duduk di satu sisi,
dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepadanya:
“Perumah tangga, indriamu tenang, raut wajahmu bersih dan cerah.
Apakah engkau mendengarkan khotbah Dhamma hari ini di hadapan
Sang Bhagavā?”
“Mengapa tidak, Yang mulia? Saya baru saja menerima anugerah
khotbah Dhamma yang lezat dari Sang Bhagavā.”
“Khotbah Dhamma lezat apakah yang dianugerahkan oleh Sang
Bhagavā kepadamu, Perumah tangga?”
“Di sini, Yang mulia, Saya mendatangi Sang Bhagavā….
(Perumah tangga Nakulapitā mengulangi keseluruhan percakapannya
dengan Sang Buddha.)
“Adalah dengan khotbah Dhamma lezat demikianlah, Yang Mulia,
Sang Bhagavā menganugerahiku.”
“Apakah engkau ingat, Perumah tangga, untuk menanyakan kepada
Sang Bhagavā lebih jauh lagi mengenai bagaimana seseorang menderita
dalam jasmani dan menderita dalam batin, dan bagaimanakah
seseorang menderita dalam jasmani tetapi tidak menderita dalam
batin?” [3]
“Kami datang dari jauh, Yang mulia, untuk mempelajari makna
pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Sudilah Yang Mulia Sāriputta
menjelaskan makna pernyataan ini.”
“Dengarkanlah dan perhatikanlah, Perumah tangga, aku akan
menjelaskan.”
“Baik, Yang mulia,” perumah tangga Nakulapitā menjawab. Yang
Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut: kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di
dalam kesadaran. Ia hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah
kesadaran, kesadaran adalah milikku.’ Selama ia hidup dikuasai oleh
gagasan-gagasan ini, kesadaran itu berubah. Dengan perubahan
kesadaran itu, muncul dalam dirinya penderitaan, ratapan, kesakitan,
ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Dengan cara demikianlah, Perumah tangga, seseorang menderita
dalam jasmani dan menderita dalam batin.6
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang menderita dalam
jasmani tetapi tidak menderita dalam batin? Di sini, Perumah tangga.
Siswa mulia yang terlatih, yang merupakan salah satu dari para mulia
dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang merupakan
salah satu dari orang-orang superior dan terampil dan disiplin dalam
Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri
sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau
diri sebagai di dalam bentuk.7 Ia tidak dengan hidup dikuasai oleh
gagasan: ‘Aku adalah bentuk, bentuk adalah milikku.’ Selama ia hidup
tanpa dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, bentuk itu berubah. Dengan
perubahan bentuk itu, tidak muncul dalam dirinya penderitaan,
ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai
memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri
sebagai di dalam perasaan. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan:
‘Aku adalah perasaan, perasaan adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa
dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, perasaan itu berubah. Dengan
perubahan perasaan itu, tidak muncul dalam dirinya penderitaan,
ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Ia tidak menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai
memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai
di dalam persepsi. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku
adalah persepsi, persepsi adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa
dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, persepsi itu berubah. Dengan
perubahan persepsi itu, tidak muncul dalam dirinya penderitaan,
ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan. [5]
“Ia tidak menganggap bentukan-bentukan kehendak sebagai
diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan kehendakbentukan-bentukan kehendak sebagai di dalam diri, atau diri sebagai
di dalam bentukan-bentukan kehendak. Ia tidak hidup dengan dikuasai
oleh gagasan: ‘Aku adalah bentukan-bentukan kehendak, bentukanbentukan
kehendak adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa dikuasai
oleh gagasan-gagasan ini, bentukan-bentukan kehendak itu berubah.
Dengan perubahan bentukan-bentukan kehendak itu, tidak muncul
dalam dirinya penderitaan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan.
“Ia tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai
memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri
sebagai di dalam kesadaran. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh
gagasan: ‘Aku adalah kesadaran, kesadaran adalah milikku.’ Selama ia
hidup tanpa dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, kesadaran itu berubah.
Dengan perubahan kesadaran itu, tidak muncul dalam dirinya
penderitaan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Dengan cara demikianlah, Perumah tangga, orang itu menderita
dalam jasmani tetapi tidak menderita dalam batin.”8
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Perumah
tangga Nakulapitā gembira mendengar pernyataan Yang Mulia
Sāriputta.
2 (2) Di Devadaha
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang
berdiam di antara penduduk Sakya di mana terdapat satu kota Sakya
bernama Devadaha. Kemudian sejumlah bhikkhu yang berasal dari
wilayah barat menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada
Beliau, duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:
“Yang Mulia, kami ingin pergi ke Propinsi Barat untuk menetap di
sana.”9
“Sudahkah kalian meminta izin dari Sāriputta, para bhikkhu?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, mintalah izin pada Sāriputta, para bhikkhu. Sāriputta
bijaksana, ia adalah seorang yang membantu saudara-saudaranya
dalam kehidupan suci.”10 [6]
“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Pada saat itu Yang
Mulia Sāriputta sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā di serumpun
(928) III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
semak.11 Kemudian para bhikkhu itu yang gembira mendengar katakata
Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan memberi hormat
kepada Sang Bhagavā. Kemudian dengan Sang Buddha tetap di sisi
kanan mereka, mereka mendekati Yang Mulia Sāriputta. Mereka
saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Sāriputta dan ketika mereka
mengakhiri sapaan dan ucapan ramah-tamah dengan Yang Mulia
Sāriputta, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:
“Sahabat Sāriputta, kami ingin pergi ke Propinsi Barat untuk
menetap di sana. Kami sudah meminta izin pada Sang Guru.”
“Sahabat-sahabat, ada para khattiya bijaksana, para brahmana
bijaksana, para perumah tangga bijaksana, dan para petapa bijaksana
yang menanyai seorang bhikkhu yang pergi ke luar negeri12 – karena
orang-orang bijaksana, sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu:
‘Apakah yang dikatakan oleh gurumu, apakah yang Beliau ajarkan?’ Aku
harap kalian telah mempelajari Ajaran dengan baik, menggenggamnya
dengan baik, memperhatikan dengan baik, merenungkan dengan
baik, dan menembusnya dengan baik dengan kebijaksanaan, sehingga
ketika kalian menjawab, kalian akan menyebutkan apa yang dikatakan
oleh Sang Bhagavā dan tidak salah mewakili Beliau dengan apa yang
berlawanan dengan fakta, sehingga kalian akan menjelaskan sesuai
dengan Dhamma, dan jawaban kalian tidak memberikan celah bagi
kritikan.”13
“Kami datang dari jauh, Sahabat, untuk mempelajari makna
pernyataan Yang Mulia Sāriputta ini. Sudilah Yang Mulia Sāriputta
menjelaskan makna dari pernyataan ini.”
“Maka dengarkan dan perhatikanlah, Sahabat-sahabat, aku akan
menjelaskan.”
“Baik, Sahabat,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta
berkata sebagai berikut: [7]
“Ada, Sahabat-sahabat, para khattiya bijaksana, para brahmana
bijaksana, para perumah tangga bijaksana, dan para petapa bijaksana
yang menanyai seorang bhikkhu yang pergi ke luar negeri – karena
orang-orang bijaksana, Sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu:
‘Apakah yang dikatakan oleh Gurumu, apakah yang Beliau ajarkan?’
Jika kalian diberi pertanyaaan demikian, Sahabat-sahabat, kalian
harus menjawab: ‘Guru kami, Sahabat, mengajarkan pelenyapan nafsu
dan keinginan.’
 “Ketika kalian menjawab demikian, Sahabat-sahabat, akan ada para
khattiya bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih
lanjut – karena orang-orang bijaksana, Sahabat-sahabat, memiliki sifat
ingin tahu: ‘Sehubungan dengan apakah Guru kalian mengajarkan
pelenyapan nafsu dan keinginan?’ Jika kalian diberi pertanyaan
demikian, Sahabat-sahabat, kalian harus menjawab: ‘Guru kami,
Sahabat, mengajarkan pelenyapan nafsu dan keinginan terhadap
bentuk, pelenyapan nafsu dan keinginan terhadap perasaan … persepsi
… bentukan-bentukan kehendak … kesadaran.’
“Ketika kalian menjawab demikian, Sahabat-sahabat, akan ada para
khattiya bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih
lanjut – karena orang-orang bijaksana, Sahabat-sahabat, memiliki sifat
ingin tahu: ‘Setelah melihat bahaya apakah Guru kalian mengajarkan
pelenyapan nafsu dan keinginan terhadap bentuk, pelenyapan nafsu
dan keinginan terhadap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan
kehendak … kesadaran?’ Jika kalian diberi pertanyaan demikian,
Sahabat-sahabat, kalian harus menjawab: ‘Jika, Sahabat, seseorang
masih memiliki nafsu, keinginan, rasa sayang, kehausan, ketagihan dan
kegemaran sehubungan dengan bentuk,14 kemudian dengan terjadinya
perubahan bentuk maka muncullah dalam diri seseorang akan
kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
Jika, Sahabat, seseorang masih memiliki nafsu, keinginan, rasa sayang,
kehausan, ketagihan dan kegemaran sehubungan dengan perasaan
… persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, kemudian
dengan terjadinya perubahan kesadaran maka muncullah dalam diri
seseorang akan kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan. Setelah melihat bahaya ini, Guru kami mengajarkan
pelenyapan nafsu dan keinginan terhadap bentuk, pelenyapan nafsu
dan keinginan terhadap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan
kehendak … kesadaran.’ [8]
“Ketika kalian menjawab demikian, Sahabat-sahabat, akan ada para
khattiya bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih
lanjut – karena orang-orang bijaksana, Sahabat-sahabat, memiliki sifat
ingin tahu: ‘Setelah melihat manfaat apakah Guru kalian mengajarkan
pelenyapan nafsu dan keinginan terhadap bentuk, pelenyapan nafsu
dan keinginan terhadap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan
(930) III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
kehendak … kesadaran?’ Jika kalian diberi pertanyaan demikian,
Sahabat-sahabat, kalian harus menjawab: ‘Jika, Sahabat, seseorang
tidak memiliki nafsu, keinginan, rasa sayang, kehausan, ketagihan
dan kegemaran sehubungan dengan bentuk, kemudian dengan
terjadinya perubahan bentuk maka kesedihan, ratapan, kesakitan,
ketidaksenangan, dan keputusasaan tidak muncul dalam dirinya.
Jika, Sahabat, seseorang tidak memiliki nafsu, keinginan, rasa
sayang, kehausan, ketagihan dan kegemaran sehubungan dengan
perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran,
kemudian dengan terjadinya perubahan kesadaran maka kesedihan,
ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan tidak muncul
dalam dirinya. Setelah melihat manfaat ini, Guru kami mengajarkan
pelenyapan nafsu dan keinginan terhadap bentuk, pelenyapan nafsu
dan keinginan terhadap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan
kehendak … kesadaran.’
“Jika, Sahabat,15 seseorang yang masuk dan berdiam di tengahtengah
kondisi-kondisi tidak bermanfaat dapat berdiam dengan
bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputusasaan, dan
demam, maka, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia dapat
mengharapkan kelahiran yang baik, maka Sang Bhagavā tidak akan
memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.
Tetapi karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah
kondisi tidak bermanfaat akan berdiam dalam penderitaan dalam
kehidupan ini, dengan kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan
karena ia dapat mengharapkan kelahiran yang tidak baik dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, maka Sang Bhagavā memuji
tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.
“Jika, Sahabat, seseorang yang masuk dan berdiam di tengahtengah
kondisi-kondisi bermanfaat dapat berdiam dengan bahagia
dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, [9] keputusasaan, dan
demam, maka, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia dapat
mengharapkan kelahiran yang tidak baik, maka Sang Bhagavā tidak
akan memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat. Tetapi
karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi
bermanfaat akan berdiam dalam kebahagiaan dalam kehidupan ini,
tanpa kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan karena ia dapat
mengharapkan kelahiran yang baik dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, maka Sang Bhagavā memuji tindakan mengejar kondisikondisi
bermanfaat.”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para
bhikkhu itu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
3 (3) Hāliddakāni (1)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia
Mahākaccāna sedang berdiam di antara penduduk Avantī di Gunung
Papāta di Kuraraghara.16 Kemudian perumah tangga Hāliddakāni
mendekati Yang Mulia Mahākaccāna, memberi hormat kepadanya,
duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:
“Yang Mulia, ini dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam ‘Pertanyaanpertanyaan
Māgandiya’ dari Aṭṭhakavagga:17
‘Setelah meninggalkan rumah untuk mengembara tanpa
tempat kediaman,
Di desa sang bijaksana tidak akrab dengan siapa pun;
Meninggalkan kenikmatan indria, tanpa pengharapan,
Ia tidak berselisih dengan orang-orang.’
Bagaimanakah, Yang Mulia, makna dari ini, yang dinyatakan oleh Sang
Bhagavā secara singkat, agar dipahami secara terperinci?”
“Unsur bentuk, Perumah tangga, adalah rumah bagi kesadaran;
seseorang yang kesadarannya terbelenggu oleh nafsu akan unsur
bentuk disebut seorang yang mengembara dalam sebuah rumah.18 Unsur
perasaan adalah rumah bagi kesadaran … [10] Unsur persepsi adalah
rumah bagi kesadaran … unsur bentukan-bentukan kehendak adalah
rumah bagi kesadaran; seseorang yang kesadarannya terbelenggu
oleh nafsu akan unsur bentukan-bentukan kehendak disebut seorang
yang mengembara dalam sebuah rumah. Adalah dengan cara demikian
bahwa seseorang mengembara dalam sebuah rumah.19
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang mengembara tanpa
rumah? Kegemaran, nafsu, kenikmatan, dan keinginan, keterlibatan
dan kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan kecenderungan
tersembunyi sehubungan dengan unsur bentuk; semua ini telah
(932) III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong di akarnya, dibuat seperti
tunggul pohon kelapa, dilenyapkan sehingga tidak mungkin lagi
muncul di masa depan.20 Oleh karena itu Sang Tathāgata disebut
sebagai seorang yang mengembara tanpa rumah. Kegemaran, nafsu,
kenikmatan, dan keinginan, keterlibatan dan kemelekatan, pendirian,
keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan
unsur perasaan … unsur persepsi … unsur bentukan-bentukan
kehendak … unsur kesadaran;21 semua ini telah ditinggalkan oleh Sang
Tathāgata, dipotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon kelapa,
dilenyapkan sehingga tidak mungkin lagi muncul di masa depan. Oleh
karena itu Sang Tathāgata disebut sebagai seorang yang mengembara
tanpa rumah.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang mengembara
dalam tempat kediaman? Dengan penyebaran dan pencakupan di dalam
tempat kediaman [yang terdapat pada] gambaran bentuk-bentuk,
seseorang disebut mengembara dalam tempat kediaman.22 Dengan
penyebaran dan pencakupan di dalam tempat kediaman [yang terdapat
pada] gambaran suara-suara … gambaran bau-bauan … gambaran rasa
kecapan … gambaran objek-objek sentuhan … gambaran fenomena
pikiran, seseorang disebut mengembara dalam tempat kediaman.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang mengembara
tanpa tempat kediaman? Penyebaran dan pencakupan di dalam
tempat kediaman [yang terdapat pada] gambaran bentuk-bentuk;
semua ini telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong di akarnya,
dibuat seperti tunggul pohon kelapa, dilenyapkan sehingga tidak
mungkin lagi muncul di masa depan. Oleh karena itu Sang Tathāgata
disebut sebagai seorang yang mengembara tanpa tempat kediaman.
Penyebaran dan pencakupan di dalam tempat kediaman [yang terdapat
pada] gambaran suara-suara ... gambaran bau-bauan … gambaran rasa
kecapan … gambaran objek-objek sentuhan … gambaran fenomena
pikiran; semua ini telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong
di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon kelapa, [11] dilenyapkan
sehingga tidak mungkin lagi muncul di masa depan. Oleh karena itu
Sang Tathāgata disebut sebagai seorang yang mengembara tanpa
tempat kediaman.23
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang akrab di desa? Di
sini, Perumah tangga, ia hidup dengan bergaul dengan orang-orang
awam; ia saling berbagi kegembiraan dan kesedihan dengan mereka,
ia bahagia ketika mereka bahagia dan sedih ketika mereka sedih, dan
ia melibatkan dirinya dalam urusan dan pekerjaan mereka.24 Dengan
cara demikianlah seseorang akrab di desa.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang tidak akrab
dengan siapa pun di desa? Di sini, Perumah tangga, seorang bhikkhu
tidak hidup bergaul dengan orang-orang awam. Ia tidak saling berbagi
kegembiraan dan kesedihan dengan mereka, ia tidak bahagia ketika
mereka bahagia dan sedih ketika mereka sedih, dan ia tidak melibatkan
dirinya dalam urusan dan pekerjaan mereka. Dengan cara demikianlah
seseorang tidak akrab dengan siapa pun di desa.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang tidak
meninggalkan kenikmatan indria? Di sini, Perumah tangga, seseorang
masih memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran,
dan kerinduan sehubungan dengan kenikmatan indria. Dengan cara
demikianlah seseorang tidak meninggalkan kenikmatan indria.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang yang meninggalkan
kenikmatan indria? Di sini, Perumah tangga, seseorang tidak lagi
memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran, dan
kerinduan sehubungan dengan kenikmatan indria. Dengan cara
demikianlah seseorang meninggalkan kenikmatan indria.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang memiliki
pengharapan-pengharapan?25 Di sini, Perumah tangga, seseorang
berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk demikian di masa depan!
Semoga aku memiliki perasaan demikian di masa depan! Semoga aku
memiliki persepsi demikian di masa depan! Semoga aku memiliki
bentukan-bentukan kehendak demikian di masa depan! Semoga aku
memiliki kesadaran demikian di masa depan!’ Dengan cara demikianlah
ia memiliki pengharapan-pengharapan.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang yang tanpa
pengharapan-pengharapan? Di sini, Perumah tangga, seseorang tidak
berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk demikian di masa depan!… [12]
Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan!’ Dengan
cara demikianlah ia tidak memiliki pengharapan-pengharapan.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang terlibat dalam
(934) III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
perselisihan? Di sini, Perumah tangga, seseorang terlibat dalam
pembicaraan seperti berikut:26 ‘Engkau tidak memahami Dhamma dan
Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Apakah yang
engkau pahami dari Dhamma dan Disiplin ini? Engkau mempraktikkan
dengan cara yang keliru, aku mempraktikkan dengan benar. Apa yang
seharusnya engkau katakan sebelumnya engkau katakan sesudahnya,
apa yang seharusnya engkau katakan sesudahnya engkau katakan
sebelumnya. Aku konsisten, engkau tidak konsisten. Apa yang
memerlukan waktu lama untuk engkau pikirkan telah dijungkirbalikkan.
Tesismu telah dibantah. Pergilah selamatkan tesismu, karena
engkau telah dikalahkan, atau bebaskanlah dirimu dari kekusutan
ini jika engkau mampu.’ Dengan cara demikianlah seseorang terlibat
dalam perselisihan.
“Dan bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang tidak terlibat
dalam perselisihan? Di sini, Perumah tangga, seseorang tidak terlibat
dalam pembicaraan seperti berikut: ‘Engkau tidak memahami Dhamma
dan Disiplin ini….’ Dengan cara demikianlah seseorang tidak terlibat
dalam perselisihan.
“Demikianlah, Perumah tangga, ketika ini dikatakan oleh Sang
Bhagavā dalam ‘Pertanyaan Māgandiya’ dari Aṭṭhakavagga:
‘Setelah meninggalkan rumah untuk mengembara tanpa alam,
Di desa, sang bijaksana tidak akrab dengan siapa pun;
Meninggalkan kenikmatan indria, tanpa pengharapan,
Ia tidak berselisih dengan orang-orang.’ –
“Adalah demikian makna ini, yang dinyatakan secara singkat oleh
Sang Bhagavā, seharusnya dipahami secara terperinci.”
4 (4) Hāliddakāni (2)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia
Mahākaccāna sedang berdiam di antara penduduk Avanti di Gunung
Papāta di Kuraraghara. [13] Kemudian perumah tangga Hāliddakāni
mendekati Yang Mulia Mahākaccāna, memberi hormat kepadanya,
duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:
“Yang Mulia, ini dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam ‘Pertanyaan22.
Khandhasaṃyutta (935)
pertanyaan Sakka’:27 ‘Para petapa dan brahmana yang terbebaskan
dalam padamnya keinginan adalah mereka yang telah mencapai akhir
tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, dan kehidupan suci
tertinggi, tujuan tertinggi, dan adalah yang terbaik di antara para
deva dan manusia.’28 Bagaimanakah, Yang Mulia, makna dari ini, yang
dinyatakan oleh Sang Bhagavā secara singkat, agar dipahami secara
terperinci?”
“Perumah tangga, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan,
penghentian, dan pelepasan kegemaran, nafsu, kenikmatan, dan
keinginan, keterlibatan dan kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan
kecenderungan tersembunyi terhadap unsur bentuk, batin dikatakan
terbebaskan dengan baik.
“Melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan
pelepasan kegemaran, nafsu, kenikmatan, dan keinginan, keterlibatan
dan kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan kecenderungan
tersembunyi terhadap unsur perasaan … unsur persepsi … unsur
bentukan-bentukan kehendak … unsur kesadaran, batin dikatakan
terbebaskan dengan baik.
“Demikianlah, Perumah tangga, ketika Sang Bhagavā mengatakan
dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Sakka’: ‘Para petapa dan brahmana
yang terbebaskan dalam padamnya keinginan adalah mereka yang
telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, dan
kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, dan adalah yang terbaik
di antara para deva dan manusia’ – adalah demikian makna ini, yang
dinyatakan secara singkat oleh Sang Bhagavā, seharusnya dipahami
secara terperinci.”
5 (5) Konsentrasi
Demikianlah yang kudengar. Di Sāvatthī…. Di sana Sang Bhagavā
berkata sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi.
Seorang bhikkhu yang terkonsentrasi akan memahami hal-hal
sebagaimana adanya.
“Dan apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Asal-mula dan
lenyapnya bentuk; asal-mula dan lenyapnya perasaan; [14] Asal-mula
dan lenyapnya persepsi; asal-mula dan lenyapnya bentukan-bentukan
kehendak; asal-mula dan lenyapnya kesadaran.29
 “Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula bentuk? Apakah asal-mula
perasaan? Apakah asal-mula persepsi? Apakah asal-mula bentukanbentukan
kehendak? Apakah asal-mula kesadaran?
Di sini, para bhikkhu, seseorang mencari kenikmatan, ia menyambut,
ia menggenggam. Dan dalam apakah ia mencari kenikmatan, apakah
yang ia sambut, apakah yang ia genggam? Ia mencari kenikmatan
di dalam bentuk, menyambutnya, dan menggenggamnya. Sebagai
akibatnya, kenikmatan muncul. Kenikmatan di dalam bentuk
adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka
penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka
kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dankematian,
kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan
penderitaan ini.
“Ia mencari kenikmatan dalam perasaan … dalam persepsi … dalam
bentukan-bentukan kehendak … dalam kesadaran, menyambutnya,
dan menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kenikmatan muncul….
Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
“Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula bentuk; ini adalah asal-mula
perasaan; ini adalah asal-mula persepsi; ini adalah asal-mula bentukanbentukan
kehendak; ini adalah asal-mula kesadaran30
“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya bentuk? Apakah lenyapnya
perasaan? Apakah lenyapnya persepsi? Apakah lenyapnya bentukanbentukan
kehendak? Apakah lenyapnya kesadaran?
“Di sini, para bhikkhu, seseorang tidak mencari kenikmatan, ia
tidak menyambut, ia tidak menggenggam. Dan dalam apakah ia tidak
mencari kenikmatan? Apakah yang tidak ia sambut? Apakah yang
tidak ia genggam? Ia tidak mencari kenikmatan di dalam bentuk,
tidak menyambutnya, tidak menggenggamnya. Sebagai akibatnya,
kenikmatan di dalam bentuk lenyap. Dengan lenyapnya kenikmatan,
maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan,
maka lenyap pula penjelmaan…. Demikianlah lenyapnya keseluruhan
kumpulan penderitaan ini.
“Seseorang tidak mencari kenikmatan di dalam perasaan … [15] …
di dalam persepsi … di dalam bentukan-bentukan kehendak … di dalam
kesadaran, tidak menyambutnya, tidak menggenggamnya. Sebagai
akibatnya, kenikmatan di dalam kesadaran lenyap … Demikianlah
lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
“Ini, para bhikkhu, adalah lenyapnya bentuk; ini adalah lenyapnya
perasaan; ini adalah lenyapnya persepsi; ini adalah lenyapnya
bentukan-bentukan kehendak; ini adalah lenyapnya kesadaran.”
6 (6) Keterasingan
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, berusahalah dalam keterasingan.31 Seorang
bhikkhu yang terasing akan memahami hal-hal sebagaimana adanya.
“Dan apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Asal-mula dan
lenyapnya bentuk; Asal-mula dan lenyapnya perasaan; Asal-mula dan
lenyapnya persepsi; Asal-mula dan lenyapnya bentukan-bentukan
kehendak; Asal-mula dan lenyapnya kesadaran.
“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula bentuk?…”
(Kelanjutan dari sutta ini identik dengan sutta sebelumnya.)
7 (7) Kegelisahan melalui Kemelekatan (1)
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian
mengenai kegelisahan melalui kemelekatan dan ketidakgelisahan
melalui ketidakmelekatan.32 Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan
menjelaskan.” [16]
“Baik, Yang Mulia.” Para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata
sebagai berikut:
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, kegelisahan melalui
kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih,
yang bukan merupakan seorang bijaksana mulia dan tidak terampil
dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan seorang
berkuasa dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka,
menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk,
atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.
Bentuknya itu berubah. Dengan berubahnya bentuk, kesadarannya
menjadi tercerap dalam perubahan bentuk tersebut. Kegelisahan
dan sekumpulan kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam
perubahan atas bentuk itu menetap dan menguasai pikirannya.33
(938) III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi takut, tertekan, dan khawatir,
dan melalui kemelekatan ia menjadi gelisah.
“Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri …
bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri,
atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam
diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah.
[17] Dengan berubahnya kesadaran, kesadarannya menjadi tercerap
dalam perubahan kesadaran tersebut. Kegelisahan dan sekumpulan
kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam perubahan atas
kesadaran itu menetap dan menguasai pikirannya. Karena pikirannya
dikuasai, ia menjadi takut, tertekan, dan khawatir, dan melalui
kemelekatan ia menjadi gelisah.
“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, kegelisahan melalui
kemelekatan.
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, ketidakgelisahan melalui
ketidakmelekatan? Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih,
yang merupakan seorang bijaksana mulia dan terampil dan disiplin
dalam Dhamma mereka, yang adalah seorang berkuasa dan terampil
dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk
sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di
dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Bentuknya itu berubah.
Terlepas dari berubahnya bentuk, kesadarannya tidak tercerap dalam
perubahan bentuk tersebut. Tidak ada kegelisahan dan sekumpulan
kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam perubahan atas
bentuk itu menetap dan menguasai pikirannya. Karena pikirannya
tidak dikuasai, ia tidak takut, tertekan, dan khawatir, dan melalui
ketidakmelekatan ia tidak menjadi gelisah.
“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri …
bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … [18] … kesadaran sebagai
diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di
dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu
berubah. Terlepas dari berubahnya kesadaran, kesadarannya tidak
tercerap dalam perubahan kesadaran tersebut. Tidak ada kegelisahan
dan sekumpulan kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam
perubahan atas kesadaran itu menetap dan menguasai pikirannya.
Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak takut, tertekan, dan
khawatir, dan melalui ketidak-melekatan ia tidak menjadi gelisah.
 “Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, ketidakgelisahan melalui
ketidakmelekatan.”
8 (8) Kegelisahan melalui Kemelekatan (2)
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian
mengenai kegelisahan melalui kemelekatan dan ketidakgelisahan
melalui ketidakmelekatan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan
menjelaskan….
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, kegelisahan melalui
kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih
menganggap bentuk sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’34 Bentuk
itu berubah. Dengan berubahnya bentuk itu, muncullah dalam dirinya
kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Ia menganggap perasaan sebagai … persepsi sebagai … bentukanbentukan
kehendak sebagai … kesadaran sebagai: ‘ini milikku, ini aku,
ini diriku.’ Kesadaran itu berubah. Dengan berubahnya kesadaran
itu, muncullah dalam dirinya kesedihan, ratapan, kesakitan,
ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, kegelisahan melalui
kemelekatan.
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, ketidakgelisahan melalui
ketidak-melekatan? [19] Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih
tidak menganggap bentuk sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’
Bentuk itu berubah. Dengan berubahnya bentuk itu, tidak muncul
dalam dirinya kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan.
“Ia tidak menganggap perasaan sebagai … persepsi sebagai …
bentukan-bentukan kehendak sebagai … kesadaran sebagai: ‘ini
milikku, ini aku, ini diriku.’ Kesadaran itu berubah. Dengan berubahnya
kesadaran itu, tidak muncul dalam dirinya kesedihan, ratapan,
kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, ketidakgelisahan melalui
ketidakmelekatan.”
9 (9) Ketidakkekalan dalam Tiga Masa
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal, baik di masa lalu
maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian,
para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih tidak membedakan bentuk di
masa lalu; ia tidak mencari kenikmatan dalam bentuk di masa depan,
dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa sekarang,
demi peluruhan dan lenyapnya.
Perasaan adalah tidak kekal ... Persepsi adalah tidak kekal …
Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah
tidak kekal, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di
masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang
terlatih tidak membedakan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari
kenikmatan dalam kesadaran di masa depan, dan ia mempraktikkan
kejijikan terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan
lenyapnya.”
10 (10) Penderitaan dalam Tiga Masa
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah penderitaan, baik di masa
lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. [20] Melihat
demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih tidak membedakan
bentuk di masa lalu; ia tidak mencari kenikmatan dalam bentuk di
masa depan, dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa
sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.
“Perasaan adalah penderitaan ... Persepsi adalah penderitaan
… Bentukan-bentukan kehendak adalah penderitaan … Kesadaran
adalah penderitaan, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi
di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang
terlatih tidak membedakan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari
kenikmatan dalam kesadaran di masa depan, dan ia mempraktikkan
kejijikan terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan
lenyapnya.”
11 (11) Bukan-diri dalam Tiga Masa
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri, baik di masa lalu
maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian,
para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih tidak membedakan bentuk di
masa lalu; ia tidak mencari kenikmatan dalam bentuk di masa depan,
dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa sekarang,
demi peluruhan dan lenyapnya.
“Perasaan adalah bukan-diri ... Persepsi adalah bukan-diri …
Bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah
bukan-diri, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di
masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang
terlatih tidak membedakan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari
kenikmatan dalam kesadaran di masa depan, dan ia mempraktikkan
kejijikan terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan
lenyapnya.”

0 komentar:

Posting Komentar