KHANDAVAGGA
I.
NAKULAPITĀ
1
(1) Nakulapitā
Demikianlah
yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang
berdiam
di antara penduduk Bhagga di Suṃsumāragira di Hutan
Bhesakalā,
Taman Rusa. Kemudian perumah tangga Nakulapitā
mendekati
Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di
“Saya
sudah tua, Yang Mulia, semakin tua, terbebani dengan tahun
demi
tahun, berusia lanjut dalam kehidupan, sampai pada tahap akhir,
menderita
dalam tubuh, sering sakit. Saya jarang menemui Bhagavā
dan
para bhikkhu yang layak dihormati.2 Sudilah Bhagavā menasihati
saya,
sudilah Bhagava mengajari saya, karena itu akan mengarah pada
kesejahteraan
dan kebahagiaan saya dalam waktu yang lama.” “Memang demikian, Perumah tangga,
memang demikian! Tubuhmu
menderita,
membungkuk, terbebani.3 Jika siapa pun yang membawa
tubuh
ini mengaku sehat bahkan selama saat, apakah itu kalau bukan
dungu?
Oleh karena itu, Perumah tangga, engkau harus berlatih
sebagai
berikut: ‘Walaupun tubuhku menderita, namun batinku tidak
akan
menderita.’ Demikianlah engkau harus berlatih.”
Kemudian
perumah tangga Nakulapitā, setelah merasa senang
dan
gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, [2] bangkit dari
duduknya,
dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dengan
Beliau
di sisi kanannya, ia mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah
memberi
hormat kepada Yang Mulia Sāriputta, ia duduk di satu sisi,
dan
Yang Mulia Sāriputta berkata kepadanya:
“Perumah
tangga, indriamu tenang, raut wajahmu bersih dan cerah.
Apakah
engkau mendengarkan khotbah Dhamma hari ini di hadapan
Sang
Bhagavā?”
“Mengapa
tidak, Yang mulia? Saya baru saja menerima anugerah
khotbah
Dhamma yang lezat dari Sang Bhagavā.”
“Khotbah
Dhamma lezat apakah yang dianugerahkan oleh Sang
Bhagavā
kepadamu, Perumah tangga?”
“Di
sini, Yang mulia, Saya mendatangi Sang Bhagavā….
(Perumah
tangga Nakulapitā mengulangi keseluruhan percakapannya
dengan
Sang Buddha.)
“Adalah
dengan khotbah Dhamma lezat demikianlah, Yang Mulia,
Sang
Bhagavā menganugerahiku.”
“Apakah
engkau ingat, Perumah tangga, untuk menanyakan kepada
Sang
Bhagavā lebih jauh lagi mengenai bagaimana seseorang menderita
dalam
jasmani dan menderita dalam batin, dan bagaimanakah
seseorang
menderita dalam jasmani tetapi tidak menderita dalam
batin?”
[3]
“Kami
datang dari jauh, Yang mulia, untuk mempelajari makna
pernyataan
ini dari Yang Mulia Sāriputta. Sudilah Yang Mulia Sāriputta
menjelaskan
makna pernyataan ini.”
“Dengarkanlah
dan perhatikanlah, Perumah tangga, aku akan
menjelaskan.”
“Baik,
Yang mulia,” perumah tangga Nakulapitā menjawab. Yang
Mulia
Sāriputta berkata sebagai berikut: kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam
diri, atau diri sebagai di
dalam
kesadaran. Ia hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah
kesadaran,
kesadaran adalah milikku.’ Selama ia hidup dikuasai oleh
gagasan-gagasan
ini, kesadaran itu berubah. Dengan perubahan
kesadaran
itu, muncul dalam dirinya penderitaan, ratapan, kesakitan,
ketidaksenangan,
dan keputusasaan.
“Dengan
cara demikianlah, Perumah tangga, seseorang menderita
dalam
jasmani dan menderita dalam batin.6
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang menderita dalam
jasmani
tetapi tidak menderita dalam batin? Di sini, Perumah tangga.
Siswa
mulia yang terlatih, yang merupakan salah satu dari para mulia
dan
terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang merupakan
salah
satu dari orang-orang superior dan terampil dan disiplin dalam
Dhamma
mereka, tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri
sebagai
memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau
diri
sebagai di dalam bentuk.7 Ia tidak dengan hidup dikuasai oleh
gagasan:
‘Aku adalah bentuk, bentuk adalah milikku.’ Selama ia hidup
tanpa
dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, bentuk itu berubah. Dengan
perubahan
bentuk itu, tidak muncul dalam dirinya penderitaan,
ratapan,
kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Ia
tidak menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai
memiliki
perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri
sebagai
di dalam perasaan. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan:
‘Aku
adalah perasaan, perasaan adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa
dikuasai
oleh gagasan-gagasan ini, perasaan itu berubah. Dengan
perubahan
perasaan itu, tidak muncul dalam dirinya penderitaan,
ratapan,
kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Ia
tidak menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai
memiliki
persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai
di
dalam persepsi. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku
adalah
persepsi, persepsi adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa
dikuasai
oleh gagasan-gagasan ini, persepsi itu berubah. Dengan
perubahan
persepsi itu, tidak muncul dalam dirinya penderitaan,
ratapan,
kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan. [5]
“Ia
tidak menganggap bentukan-bentukan kehendak sebagai
diri,
atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan kehendakbentukan-bentukan kehendak
sebagai di dalam diri, atau diri sebagai
di
dalam bentukan-bentukan kehendak. Ia tidak hidup dengan dikuasai
oleh
gagasan: ‘Aku adalah bentukan-bentukan kehendak, bentukanbentukan
kehendak
adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa dikuasai
oleh
gagasan-gagasan ini, bentukan-bentukan kehendak itu berubah.
Dengan
perubahan bentukan-bentukan kehendak itu, tidak muncul
dalam
dirinya penderitaan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan.
“Ia
tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai
memiliki
kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri
sebagai
di dalam kesadaran. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh
gagasan:
‘Aku adalah kesadaran, kesadaran adalah milikku.’ Selama ia
hidup
tanpa dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, kesadaran itu berubah.
Dengan
perubahan kesadaran itu, tidak muncul dalam dirinya
penderitaan,
ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Dengan
cara demikianlah, Perumah tangga, orang itu menderita
dalam
jasmani tetapi tidak menderita dalam batin.”8
Ini
adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Perumah
tangga
Nakulapitā gembira mendengar pernyataan Yang Mulia
Sāriputta.
2 (2) Di Devadaha
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang
berdiam di antara penduduk Sakya di mana terdapat satu kota Sakya
bernama Devadaha. Kemudian sejumlah bhikkhu yang berasal dari
wilayah barat menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada
Beliau, duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:
“Yang Mulia, kami ingin pergi ke Propinsi Barat untuk menetap di
sana.”9
“Sudahkah
kalian meminta izin dari Sāriputta, para bhikkhu?”
“Belum,
Yang Mulia.”
“Kalau
begitu, mintalah izin pada Sāriputta, para bhikkhu. Sāriputta
bijaksana,
ia adalah seorang yang membantu saudara-saudaranya
dalam
kehidupan suci.”10 [6]
“Baik,
Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Pada saat itu Yang
Mulia
Sāriputta sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā di serumpun
(928)
III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
semak.11
Kemudian para bhikkhu itu yang gembira mendengar katakata
Sang
Bhagavā, bangkit dari duduknya dan memberi hormat
kepada
Sang Bhagavā. Kemudian dengan Sang Buddha tetap di sisi
kanan
mereka, mereka mendekati Yang Mulia Sāriputta. Mereka
saling
bertukar sapa dengan Yang Mulia Sāriputta dan ketika mereka
mengakhiri
sapaan dan ucapan ramah-tamah dengan Yang Mulia
Sāriputta,
mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:
“Sahabat
Sāriputta, kami ingin pergi ke Propinsi Barat untuk
menetap
di sana. Kami sudah meminta izin pada Sang Guru.”
“Sahabat-sahabat,
ada para khattiya bijaksana, para brahmana
bijaksana,
para perumah tangga bijaksana, dan para petapa bijaksana
yang
menanyai seorang bhikkhu yang pergi ke luar negeri12 – karena
orang-orang
bijaksana, sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu:
‘Apakah
yang dikatakan oleh gurumu, apakah yang Beliau ajarkan?’ Aku
harap
kalian telah mempelajari Ajaran dengan baik, menggenggamnya
dengan
baik, memperhatikan dengan baik, merenungkan dengan
baik,
dan menembusnya dengan baik dengan kebijaksanaan, sehingga
ketika
kalian menjawab, kalian akan menyebutkan apa yang dikatakan
oleh
Sang Bhagavā dan tidak salah mewakili Beliau dengan apa yang
berlawanan
dengan fakta, sehingga kalian akan menjelaskan sesuai
dengan
Dhamma, dan jawaban kalian tidak memberikan celah bagi
kritikan.”13
“Kami
datang dari jauh, Sahabat, untuk mempelajari makna
pernyataan
Yang Mulia Sāriputta ini. Sudilah Yang Mulia Sāriputta
menjelaskan
makna dari pernyataan ini.”
“Maka
dengarkan dan perhatikanlah, Sahabat-sahabat, aku akan
menjelaskan.”
“Baik,
Sahabat,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta
berkata
sebagai berikut: [7]
“Ada,
Sahabat-sahabat, para khattiya bijaksana, para brahmana
bijaksana,
para perumah tangga bijaksana, dan para petapa bijaksana
yang
menanyai seorang bhikkhu yang pergi ke luar negeri – karena
orang-orang
bijaksana, Sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu:
‘Apakah
yang dikatakan oleh Gurumu, apakah yang Beliau ajarkan?’
Jika
kalian diberi pertanyaaan demikian, Sahabat-sahabat, kalian
harus
menjawab: ‘Guru kami, Sahabat, mengajarkan pelenyapan nafsu
dan
keinginan.’
“Ketika kalian menjawab demikian,
Sahabat-sahabat, akan ada para
khattiya
bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih
lanjut
– karena orang-orang bijaksana, Sahabat-sahabat, memiliki sifat
ingin
tahu: ‘Sehubungan dengan apakah Guru kalian mengajarkan
pelenyapan
nafsu dan keinginan?’ Jika kalian diberi pertanyaan
demikian,
Sahabat-sahabat, kalian harus menjawab: ‘Guru kami,
Sahabat,
mengajarkan pelenyapan nafsu dan keinginan terhadap
bentuk,
pelenyapan nafsu dan keinginan terhadap perasaan …
persepsi
… bentukan-bentukan kehendak … kesadaran.’
“Ketika
kalian menjawab demikian, Sahabat-sahabat, akan ada para
khattiya
bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih
lanjut
– karena orang-orang bijaksana, Sahabat-sahabat, memiliki sifat
ingin
tahu: ‘Setelah melihat bahaya apakah Guru kalian mengajarkan
pelenyapan
nafsu dan keinginan terhadap bentuk, pelenyapan nafsu
dan
keinginan terhadap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan
kehendak
… kesadaran?’ Jika kalian diberi pertanyaan demikian,
Sahabat-sahabat,
kalian harus menjawab: ‘Jika, Sahabat, seseorang
masih
memiliki nafsu, keinginan, rasa sayang, kehausan, ketagihan dan
kegemaran
sehubungan dengan bentuk,14 kemudian dengan terjadinya
perubahan
bentuk maka muncullah dalam diri seseorang akan
kesedihan,
ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
Jika,
Sahabat, seseorang masih memiliki nafsu, keinginan, rasa sayang,
kehausan,
ketagihan dan kegemaran sehubungan dengan perasaan
…
persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, kemudian
dengan
terjadinya perubahan kesadaran maka muncullah dalam diri
seseorang
akan kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan.
Setelah melihat bahaya ini, Guru kami mengajarkan
pelenyapan
nafsu dan keinginan terhadap bentuk, pelenyapan nafsu
dan
keinginan terhadap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan
kehendak
… kesadaran.’ [8]
“Ketika
kalian menjawab demikian, Sahabat-sahabat, akan ada para
khattiya
bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih
lanjut
– karena orang-orang bijaksana, Sahabat-sahabat, memiliki sifat
ingin
tahu: ‘Setelah melihat manfaat apakah Guru kalian mengajarkan
pelenyapan
nafsu dan keinginan terhadap bentuk, pelenyapan nafsu
dan
keinginan terhadap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan
(930)
III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
kehendak
… kesadaran?’ Jika kalian diberi pertanyaan demikian,
Sahabat-sahabat,
kalian harus menjawab: ‘Jika, Sahabat, seseorang
tidak
memiliki nafsu, keinginan, rasa sayang, kehausan, ketagihan
dan
kegemaran sehubungan dengan bentuk, kemudian dengan
terjadinya
perubahan bentuk maka kesedihan, ratapan, kesakitan,
ketidaksenangan,
dan keputusasaan tidak muncul dalam dirinya.
Jika,
Sahabat, seseorang tidak memiliki nafsu, keinginan, rasa
sayang,
kehausan, ketagihan dan kegemaran sehubungan dengan
perasaan
… persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran,
kemudian
dengan terjadinya perubahan kesadaran maka kesedihan,
ratapan,
kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan tidak muncul
dalam
dirinya. Setelah melihat manfaat ini, Guru kami mengajarkan
pelenyapan
nafsu dan keinginan terhadap bentuk, pelenyapan nafsu
dan
keinginan terhadap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan
kehendak
… kesadaran.’
“Jika,
Sahabat,15 seseorang yang masuk dan berdiam di tengahtengah
kondisi-kondisi
tidak bermanfaat dapat berdiam dengan
bahagia
dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputusasaan, dan
demam,
maka, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia dapat
mengharapkan
kelahiran yang baik, maka Sang Bhagavā tidak akan
memuji
tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.
Tetapi
karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah
kondisi
tidak bermanfaat akan berdiam dalam penderitaan dalam
kehidupan
ini, dengan kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan
karena
ia dapat mengharapkan kelahiran yang tidak baik dengan
hancurnya
jasmani, setelah kematian, maka Sang Bhagavā memuji
tindakan
meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.
“Jika,
Sahabat, seseorang yang masuk dan berdiam di tengahtengah
kondisi-kondisi
bermanfaat dapat berdiam dengan bahagia
dalam
kehidupan ini, dengan kekesalan, [9] keputusasaan, dan
demam,
maka, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia dapat
mengharapkan
kelahiran yang tidak baik, maka Sang Bhagavā tidak
akan
memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat. Tetapi
karena
seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi
bermanfaat
akan berdiam dalam kebahagiaan dalam kehidupan ini,
tanpa
kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan karena ia dapat
mengharapkan
kelahiran yang baik dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian,
maka Sang Bhagavā memuji tindakan mengejar kondisikondisi
bermanfaat.”
Ini
adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para
bhikkhu
itu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
3
(3) Hāliddakāni (1)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia
Mahākaccāna sedang berdiam di antara penduduk Avantī di Gunung
Papāta di Kuraraghara.16 Kemudian perumah tangga Hāliddakāni
mendekati Yang Mulia Mahākaccāna, memberi hormat kepadanya,
duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:
“Yang Mulia, ini dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam
‘Pertanyaanpertanyaan
Māgandiya’ dari Aṭṭhakavagga:17
‘Setelah meninggalkan rumah untuk mengembara tanpa
tempat kediaman,
Di desa sang bijaksana tidak akrab dengan siapa pun;
Meninggalkan
kenikmatan indria, tanpa pengharapan,
Ia
tidak berselisih dengan orang-orang.’
Bagaimanakah, Yang Mulia, makna dari ini, yang dinyatakan oleh Sang
Bhagavā secara singkat, agar dipahami secara terperinci?”
“Unsur bentuk, Perumah tangga, adalah rumah bagi kesadaran;
seseorang yang kesadarannya terbelenggu oleh nafsu akan unsur
bentuk disebut seorang yang mengembara dalam sebuah rumah.18 Unsur
perasaan
adalah rumah bagi kesadaran … [10] Unsur persepsi adalah
rumah
bagi kesadaran … unsur bentukan-bentukan kehendak adalah
rumah
bagi kesadaran; seseorang yang kesadarannya terbelenggu
oleh
nafsu akan unsur bentukan-bentukan kehendak disebut seorang
yang
mengembara dalam sebuah rumah. Adalah dengan cara demikian
bahwa
seseorang mengembara dalam sebuah rumah.19
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang mengembara tanpa
rumah?
Kegemaran, nafsu, kenikmatan, dan keinginan, keterlibatan
dan
kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan kecenderungan
tersembunyi
sehubungan dengan unsur bentuk; semua ini telah
(932)
III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
ditinggalkan
oleh Sang Tathāgata, dipotong di akarnya, dibuat seperti
tunggul
pohon kelapa, dilenyapkan sehingga tidak mungkin lagi
muncul
di masa depan.20 Oleh karena itu Sang Tathāgata disebut
sebagai
seorang yang mengembara tanpa rumah. Kegemaran, nafsu,
kenikmatan,
dan keinginan, keterlibatan dan kemelekatan, pendirian,
keterikatan,
dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan
unsur
perasaan … unsur persepsi … unsur bentukan-bentukan
kehendak
… unsur kesadaran;21 semua ini telah ditinggalkan oleh Sang
Tathāgata,
dipotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon kelapa,
dilenyapkan
sehingga tidak mungkin lagi muncul di masa depan. Oleh
karena
itu Sang Tathāgata disebut sebagai seorang yang mengembara
tanpa
rumah.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang mengembara
dalam
tempat kediaman? Dengan penyebaran dan pencakupan di dalam
tempat
kediaman [yang terdapat pada] gambaran bentuk-bentuk,
seseorang
disebut mengembara dalam tempat kediaman.22 Dengan
penyebaran
dan pencakupan di dalam tempat kediaman [yang terdapat
pada]
gambaran suara-suara … gambaran bau-bauan … gambaran rasa
kecapan
… gambaran objek-objek sentuhan … gambaran fenomena
pikiran,
seseorang disebut mengembara dalam tempat kediaman.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang mengembara
tanpa
tempat kediaman? Penyebaran dan pencakupan di dalam
tempat
kediaman [yang terdapat pada] gambaran bentuk-bentuk;
semua
ini telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong di akarnya,
dibuat
seperti tunggul pohon kelapa, dilenyapkan sehingga tidak
mungkin
lagi muncul di masa depan. Oleh karena itu Sang Tathāgata
disebut
sebagai seorang yang mengembara tanpa tempat kediaman.
Penyebaran
dan pencakupan di dalam tempat kediaman [yang terdapat
pada]
gambaran suara-suara ... gambaran bau-bauan … gambaran rasa
kecapan
… gambaran objek-objek sentuhan … gambaran fenomena
pikiran;
semua ini telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong
di
akarnya, dibuat seperti tunggul pohon kelapa, [11] dilenyapkan
sehingga
tidak mungkin lagi muncul di masa depan. Oleh karena itu
Sang
Tathāgata disebut sebagai seorang yang mengembara tanpa
tempat
kediaman.23
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang akrab di desa? Di
sini,
Perumah tangga, ia hidup dengan bergaul dengan orang-orang
awam;
ia saling berbagi kegembiraan dan kesedihan dengan mereka,
ia
bahagia ketika mereka bahagia dan sedih ketika mereka sedih, dan
ia
melibatkan dirinya dalam urusan dan pekerjaan mereka.24 Dengan
cara
demikianlah seseorang akrab di desa.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang tidak akrab
dengan
siapa pun di desa? Di sini, Perumah tangga, seorang bhikkhu
tidak
hidup bergaul dengan orang-orang awam. Ia tidak saling berbagi
kegembiraan
dan kesedihan dengan mereka, ia tidak bahagia ketika
mereka
bahagia dan sedih ketika mereka sedih, dan ia tidak melibatkan
dirinya
dalam urusan dan pekerjaan mereka. Dengan cara demikianlah
seseorang
tidak akrab dengan siapa pun di desa.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang tidak
meninggalkan
kenikmatan indria? Di sini, Perumah tangga, seseorang
masih
memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran,
dan
kerinduan sehubungan dengan kenikmatan indria. Dengan cara
demikianlah
seseorang tidak meninggalkan kenikmatan indria.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang yang meninggalkan
kenikmatan
indria? Di sini, Perumah tangga, seseorang tidak lagi
memiliki
nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran, dan
kerinduan
sehubungan dengan kenikmatan indria. Dengan cara
demikianlah
seseorang meninggalkan kenikmatan indria.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang memiliki
pengharapan-pengharapan?25
Di sini, Perumah tangga, seseorang
berpikir:
‘Semoga aku memiliki bentuk demikian di masa depan!
Semoga
aku memiliki perasaan demikian di masa depan! Semoga aku
memiliki
persepsi demikian di masa depan! Semoga aku memiliki
bentukan-bentukan
kehendak demikian di masa depan! Semoga aku
memiliki
kesadaran demikian di masa depan!’ Dengan cara demikianlah
ia
memiliki pengharapan-pengharapan.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang yang tanpa
pengharapan-pengharapan?
Di sini, Perumah tangga, seseorang tidak
berpikir:
‘Semoga aku memiliki bentuk demikian di masa depan!… [12]
Semoga
aku memiliki kesadaran demikian di masa depan!’ Dengan
cara
demikianlah ia tidak memiliki pengharapan-pengharapan.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang terlibat dalam
(934)
III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
perselisihan?
Di sini, Perumah tangga, seseorang terlibat dalam
pembicaraan
seperti berikut:26 ‘Engkau tidak memahami Dhamma dan
Disiplin
ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Apakah yang
engkau
pahami dari Dhamma dan Disiplin ini? Engkau mempraktikkan
dengan
cara yang keliru, aku mempraktikkan dengan benar. Apa yang
seharusnya
engkau katakan sebelumnya engkau katakan sesudahnya,
apa
yang seharusnya engkau katakan sesudahnya engkau katakan
sebelumnya.
Aku konsisten, engkau tidak konsisten. Apa yang
memerlukan
waktu lama untuk engkau pikirkan telah dijungkirbalikkan.
Tesismu
telah dibantah. Pergilah selamatkan tesismu, karena
engkau
telah dikalahkan, atau bebaskanlah dirimu dari kekusutan
ini
jika engkau mampu.’ Dengan cara demikianlah seseorang terlibat
dalam
perselisihan.
“Dan
bagaimanakah, Perumah tangga, seseorang tidak terlibat
dalam
perselisihan? Di sini, Perumah tangga, seseorang tidak terlibat
dalam
pembicaraan seperti berikut: ‘Engkau tidak memahami Dhamma
dan
Disiplin ini….’ Dengan cara demikianlah seseorang tidak terlibat
dalam
perselisihan.
“Demikianlah,
Perumah tangga, ketika ini dikatakan oleh Sang
Bhagavā
dalam ‘Pertanyaan Māgandiya’ dari Aṭṭhakavagga:
‘Setelah
meninggalkan rumah untuk mengembara tanpa alam,
Di
desa, sang bijaksana tidak akrab dengan siapa pun;
Meninggalkan
kenikmatan indria, tanpa pengharapan,
Ia
tidak berselisih dengan orang-orang.’ –
“Adalah
demikian makna ini, yang dinyatakan secara singkat oleh
Sang
Bhagavā, seharusnya dipahami secara terperinci.”
4 (4) Hāliddakāni (2)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia
Mahākaccāna sedang berdiam di antara penduduk Avanti di Gunung
Papāta di Kuraraghara. [13] Kemudian perumah tangga Hāliddakāni
mendekati Yang Mulia Mahākaccāna, memberi hormat kepadanya,
duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:
“Yang Mulia, ini dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam ‘Pertanyaan22.
Khandhasaṃyutta (935)
pertanyaan Sakka’:27 ‘Para petapa dan brahmana yang terbebaskan
dalam padamnya keinginan adalah mereka yang telah mencapai akhir
tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, dan kehidupan suci
tertinggi, tujuan tertinggi, dan adalah yang terbaik di antara para
deva dan manusia.’28 Bagaimanakah, Yang Mulia, makna dari ini, yang
dinyatakan
oleh Sang Bhagavā secara singkat, agar dipahami secara
terperinci?”
“Perumah tangga, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan,
penghentian, dan pelepasan kegemaran, nafsu, kenikmatan, dan
keinginan, keterlibatan dan kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan
kecenderungan tersembunyi terhadap unsur bentuk, batin dikatakan
terbebaskan dengan baik.
“Melalui
kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan
pelepasan
kegemaran, nafsu, kenikmatan, dan keinginan, keterlibatan
dan
kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan kecenderungan
tersembunyi
terhadap unsur perasaan … unsur persepsi … unsur
bentukan-bentukan
kehendak … unsur kesadaran, batin dikatakan
terbebaskan
dengan baik.
“Demikianlah,
Perumah tangga, ketika Sang Bhagavā mengatakan
dalam
‘Pertanyaan-pertanyaan Sakka’: ‘Para petapa dan brahmana
yang
terbebaskan dalam padamnya keinginan adalah mereka yang
telah
mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, dan
kehidupan
suci tertinggi, tujuan tertinggi, dan adalah yang terbaik
di
antara para deva dan manusia’ – adalah demikian makna ini, yang
dinyatakan
secara singkat oleh Sang Bhagavā, seharusnya dipahami
secara
terperinci.”
5
(5) Konsentrasi
Demikianlah yang kudengar. Di Sāvatthī…. Di sana Sang Bhagavā
berkata sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi.
Seorang bhikkhu yang terkonsentrasi akan memahami hal-hal
sebagaimana adanya.
“Dan apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Asal-mula dan
lenyapnya bentuk; asal-mula dan lenyapnya perasaan; [14] Asal-mula
dan lenyapnya persepsi; asal-mula dan lenyapnya bentukan-bentukan
kehendak; asal-mula dan lenyapnya kesadaran.29
“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula bentuk?
Apakah asal-mula
perasaan?
Apakah asal-mula persepsi? Apakah asal-mula bentukanbentukan
kehendak?
Apakah asal-mula kesadaran?
“Di sini, para bhikkhu, seseorang mencari kenikmatan, ia
menyambut,
ia menggenggam. Dan dalam apakah ia mencari kenikmatan, apakah
yang ia sambut, apakah yang ia genggam? Ia mencari kenikmatan
di dalam bentuk, menyambutnya, dan menggenggamnya. Sebagai
akibatnya,
kenikmatan muncul. Kenikmatan di dalam bentuk
adalah
kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka
penjelmaan
[muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka
kelahiran;
dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dankematian,
kesedihan,
ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan
muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan
penderitaan
ini.
“Ia
mencari kenikmatan dalam perasaan … dalam persepsi … dalam
bentukan-bentukan
kehendak … dalam kesadaran, menyambutnya,
dan
menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kenikmatan muncul….
Demikianlah
asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
“Ini,
para bhikkhu, adalah asal-mula bentuk; ini adalah asal-mula
perasaan;
ini adalah asal-mula persepsi; ini adalah asal-mula bentukanbentukan
kehendak;
ini adalah asal-mula kesadaran30
“Dan
apakah, para bhikkhu, lenyapnya bentuk? Apakah lenyapnya
perasaan?
Apakah lenyapnya persepsi? Apakah lenyapnya bentukanbentukan
kehendak?
Apakah lenyapnya kesadaran?
“Di
sini, para bhikkhu, seseorang tidak mencari kenikmatan, ia
tidak
menyambut, ia tidak menggenggam. Dan dalam apakah ia tidak
mencari
kenikmatan? Apakah yang tidak ia sambut? Apakah yang
tidak
ia genggam? Ia tidak mencari kenikmatan di dalam bentuk,
tidak
menyambutnya, tidak menggenggamnya. Sebagai akibatnya,
kenikmatan
di dalam bentuk lenyap. Dengan lenyapnya kenikmatan,
maka
lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan,
maka
lenyap pula penjelmaan…. Demikianlah lenyapnya keseluruhan
kumpulan
penderitaan ini.
“Seseorang
tidak mencari kenikmatan di dalam perasaan … [15] …
di
dalam persepsi … di dalam bentukan-bentukan kehendak … di dalam
kesadaran,
tidak menyambutnya, tidak menggenggamnya. Sebagai
akibatnya,
kenikmatan di dalam kesadaran lenyap … Demikianlah
lenyapnya
keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
“Ini,
para bhikkhu, adalah lenyapnya bentuk; ini adalah lenyapnya
perasaan;
ini adalah lenyapnya persepsi; ini adalah lenyapnya
bentukan-bentukan
kehendak; ini adalah lenyapnya kesadaran.”
6 (6) Keterasingan
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, berusahalah dalam keterasingan.31
Seorang
bhikkhu yang terasing akan memahami hal-hal sebagaimana adanya.
“Dan apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Asal-mula dan
lenyapnya bentuk; Asal-mula dan lenyapnya perasaan; Asal-mula dan
lenyapnya persepsi; Asal-mula dan lenyapnya bentukan-bentukan
kehendak;
Asal-mula dan lenyapnya kesadaran.
“Dan
apakah, para bhikkhu, asal-mula bentuk?…”
(Kelanjutan
dari sutta ini identik dengan sutta sebelumnya.)
7
(7) Kegelisahan melalui Kemelekatan (1)
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian
mengenai kegelisahan melalui kemelekatan dan ketidakgelisahan
melalui ketidakmelekatan.32 Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan
menjelaskan.” [16]
“Baik, Yang Mulia.” Para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata
sebagai berikut:
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, kegelisahan melalui
kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak
terlatih,
yang bukan merupakan seorang bijaksana mulia dan tidak terampil
dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan seorang
berkuasa dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka,
menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk,
atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam
bentuk.
Bentuknya
itu berubah. Dengan berubahnya bentuk, kesadarannya
menjadi
tercerap dalam perubahan bentuk tersebut. Kegelisahan
dan
sekumpulan kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam
perubahan
atas bentuk itu menetap dan menguasai pikirannya.33
(938)
III: Buku tentang Kelompok Unsur Kehidupan (khandhavagga)
Karena
pikirannya dikuasai, ia menjadi takut, tertekan, dan khawatir,
dan
melalui kemelekatan ia menjadi gelisah.
“Ia
menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri …
bentukan-bentukan
kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri,
atau
diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam
diri,
atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah.
[17]
Dengan berubahnya kesadaran, kesadarannya menjadi tercerap
dalam
perubahan kesadaran tersebut. Kegelisahan dan sekumpulan
kondisi
batin yang muncul dari ketercerapan dalam perubahan atas
kesadaran
itu menetap dan menguasai pikirannya. Karena pikirannya
dikuasai,
ia menjadi takut, tertekan, dan khawatir, dan melalui
kemelekatan
ia menjadi gelisah.
“Dengan
cara demikianlah, para bhikkhu, kegelisahan melalui
kemelekatan.
“Dan
bagaimanakah, para bhikkhu, ketidakgelisahan melalui
ketidakmelekatan?
Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih,
yang
merupakan seorang bijaksana mulia dan terampil dan disiplin
dalam
Dhamma mereka, yang adalah seorang berkuasa dan terampil
dan
disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk
sebagai
diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di
dalam
diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Bentuknya itu berubah.
Terlepas
dari berubahnya bentuk, kesadarannya tidak tercerap dalam
perubahan
bentuk tersebut. Tidak ada kegelisahan dan sekumpulan
kondisi
batin yang muncul dari ketercerapan dalam perubahan atas
bentuk
itu menetap dan menguasai pikirannya. Karena pikirannya
tidak
dikuasai, ia tidak takut, tertekan, dan khawatir, dan melalui
ketidakmelekatan
ia tidak menjadi gelisah.
“Ia
tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri …
bentukan-bentukan
kehendak sebagai diri … [18] … kesadaran sebagai
diri,
atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di
dalam
diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu
berubah.
Terlepas dari berubahnya kesadaran, kesadarannya tidak
tercerap
dalam perubahan kesadaran tersebut. Tidak ada kegelisahan
dan
sekumpulan kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam
perubahan
atas kesadaran itu menetap dan menguasai pikirannya.
Karena
pikirannya tidak dikuasai, ia tidak takut, tertekan, dan
khawatir,
dan melalui ketidak-melekatan ia tidak menjadi gelisah.
“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu,
ketidakgelisahan melalui
ketidakmelekatan.”
8
(8) Kegelisahan melalui Kemelekatan (2)
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian
mengenai kegelisahan melalui kemelekatan dan ketidakgelisahan
melalui ketidakmelekatan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan
menjelaskan….
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, kegelisahan melalui
kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terlatih
menganggap bentuk sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’34
Bentuk
itu berubah. Dengan berubahnya bentuk itu, muncullah dalam dirinya
kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Ia menganggap perasaan sebagai … persepsi sebagai …
bentukanbentukan
kehendak sebagai … kesadaran sebagai: ‘ini milikku, ini aku,
ini diriku.’ Kesadaran itu berubah. Dengan berubahnya kesadaran
itu,
muncullah dalam dirinya kesedihan, ratapan, kesakitan,
ketidaksenangan,
dan keputusasaan.
“Dengan
cara demikianlah, para bhikkhu, kegelisahan melalui
kemelekatan.
“Dan
bagaimanakah, para bhikkhu, ketidakgelisahan melalui
ketidak-melekatan?
[19] Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih
tidak
menganggap bentuk sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’
Bentuk
itu berubah. Dengan berubahnya bentuk itu, tidak muncul
dalam
dirinya kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan.
“Ia
tidak menganggap perasaan sebagai … persepsi sebagai …
bentukan-bentukan
kehendak sebagai … kesadaran sebagai: ‘ini
milikku,
ini aku, ini diriku.’ Kesadaran itu berubah. Dengan berubahnya
kesadaran
itu, tidak muncul dalam dirinya kesedihan, ratapan,
kesakitan,
ketidaksenangan, dan keputusasaan.
“Dengan
cara demikianlah, para bhikkhu, ketidakgelisahan melalui
ketidakmelekatan.”
9 (9) Ketidakkekalan dalam Tiga Masa
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal, baik di masa
lalu
maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian,
para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih tidak membedakan bentuk di
masa lalu; ia tidak mencari kenikmatan dalam bentuk di masa depan,
dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa sekarang,
demi peluruhan dan lenyapnya.
“Perasaan
adalah tidak kekal ... Persepsi adalah tidak kekal …
Bentukan-bentukan
kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah
tidak
kekal, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di
masa
sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang
terlatih
tidak membedakan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari
kenikmatan
dalam kesadaran di masa depan, dan ia mempraktikkan
kejijikan
terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan
lenyapnya.”
10
(10) Penderitaan dalam Tiga Masa
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah penderitaan, baik di masa
lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. [20] Melihat
demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih tidak membedakan
bentuk di masa lalu; ia tidak mencari kenikmatan dalam bentuk di
masa depan, dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa
sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.
“Perasaan adalah penderitaan ... Persepsi adalah penderitaan
… Bentukan-bentukan kehendak adalah penderitaan … Kesadaran
adalah penderitaan, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi
di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang
terlatih tidak membedakan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari
kenikmatan dalam kesadaran di masa depan, dan ia mempraktikkan
kejijikan terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan
lenyapnya.”
11 (11) Bukan-diri dalam Tiga Masa
Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri, baik di masa
lalu
maupun
di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian,
para
bhikkhu, siswa mulia yang terlatih tidak membedakan bentuk di
masa
lalu; ia tidak mencari kenikmatan dalam bentuk di masa depan,
dan
ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa sekarang,
demi
peluruhan dan lenyapnya.
“Perasaan
adalah bukan-diri ... Persepsi adalah bukan-diri …
Bentukan-bentukan
kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah
bukan-diri,
baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di
masa
sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang
terlatih
tidak membedakan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari
kenikmatan
dalam kesadaran di masa depan, dan ia mempraktikkan
kejijikan
terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan
lenyapnya.”
0 komentar:
Posting Komentar